Fight Together

117 23 7
                                    

"Shaka"
panggilku, disaat dia mengobrol dengan para tamtama.

"Ya, Lily"
Shaka menoleh, namun bukan dia saja yang menoleh melainkan para tamtama lainnya.

"... Aku ingin bertemu--"
bibirku tertutup, rasanya mulai sulit jika harus mengucap kata ayah.

Seolah mengerti Shaka berjalan mendekat.
"Ayo".
Ajaknya tanpa menungguku menyelesaikan perkataan.

.
.
.

Disepanjang jalan, aku hanya diam menunduk sembari mempererat jaket.

"Lily"
Shaka membuyarkan lamunanku.

"... Ya"

"Kau tampak aneh, apa yang terjadi?"
tanyanya.

Aku meremas jaket, dan menggigit bibir bawah.
"... Aku belum siap"
langkahku berhenti.

Shaka berbalik menatap penuh heran, aku memutuskan untuk menangis saja, tidak bisa lagi menahannya.

"Kau kenapa?"
Shaka mendekat menepuk bahuku.

"... Tolong tangkap ayahku Shaka"
leherku tercekat.
"yang-- yang pantas mendapatkan hukuman bukanlah Harin... tapi ayahku"

"Huh... aku tau Lily,"
Shaka menepuk bahuku.

"Kau tau?"
aku menatapnya tidak percaya.

"Ya, dia sendiri yang menceritakannya padaku... kami sedang menyelidiki kasus ini, aku harap kau bisa menunggu... dan aku berjanji padamu, Harin tidak akan tertangkap"
dia memberikan dukungan.

Membuat hatiku merasa lebih baik.

"Ayo temui dia".
Ajak Shaka kembali mengarahkan jalan, aku menyempatkan untuk mengambil ponsel Dini, akan ku perlihatkan jelas video itu.

.
.
.

"Kau sudah siap?"
tanyanya sebelum membuka pintu ruangan.

"Ya".
Respon ku singkat.

Cklek

Shaka membuka pintu, mata Jones seketika tertuju ke pintu.

Aku berjalan masuk, dengan mata yang masih tertunduk belum siap melihat wajahnya.

"Jika butuh bantuan, panggil aku"
kata Shaka sebelum menutup pintu.

"Lily..."
dia merentangkan kedua tangannya.

Ku beranikan diri menatap wajahnya, rasa benci tiba-tiba datang.

Aku melangkah mendekat, terus menatap wajahnya penuh kekecewaan.

"kemari lah"
dia bersiap memelukku.

Grep

Bukannya memeluk, aku menggenggam tangannya, meletakan ponsel Dini di tangannya.

Alisnya seketika mengernyit bingung
"Apa ini?"

"... Kau lihat saja".
Datar ku.

Perlahan dia mulai memutar video, aku memejamkan mata, bahkan aku tidak pernah menyangka kalau suara biadab didalam video itu adalah ayahku sendiri.

Tak!

Dia membanting ponsel Dini ke lantai, matanya membulat merah.

"Nak... kau--"
gagapnya.

Aku menatapnya semakin kecewa, melihatnya yang tiba-tiba membanting ponsel. Semakin membuktikan kalau dia memang pelakunya.

"--kau menuduhku melakukan itu"

"Hah haha..."
aku tertawa hambar, sembari meremas rambut. Ini seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
"... aku tidak menuduh mu, tapi kau lah yang mengakuinya".
air mataku menggenang.

DO YOU WANNA DIE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang