47

39 5 0
                                    

Berusaha kuat dan tegar didepan seseorang adalah hal yang lumrah, setidaknya bagi Raja sendiri. Sepanjang hidupnya rasanya hanya penuh dengan kebohongan. Kebohongan untuk dirinya dan untuk sekitarnya. Berat, ingin bercerita, ingin berteriak. Tentu, ia mau itu. Namun, rasanya aneh jika dipikirkan, apalagi dirasa.

Perjalanan ia tempuh lebih dari 8 jam melalui jalur darat. Kini ia sampai di RSPAL Surabaya, guna melihat kondisi bundanya. Dengan Kala tentunya. Perasaaanya tak dapat ia gambarkan, bahkan sejak ia masuk ke halaman parkir RS ia sempat berpikir untuk kembali saja. 

Dirinya datang, memasuki ruang onkologi, mencari bangsal kamar F. Iya, bundanya kini ditempatkan di Bangsal khusus kanker. Kembali ia masuk ke lorong ini. Mencari keberadaan bundanya. Sepanjang lorong, dirinya sempat mencuri pandang, ada beberapa pasien yang kondisinya cukup memprihatinkan. Namun apakah ini waktunya ia untuk berprihatin kepada seseorang saat dirinya sendiri lebih layak akan hal itu.

"Bunda, gimana?" suaranya bergetar, seolah menahan tangis. Dirinya melihat kondisi bundanya yang kurus, bahkan tubuhnya hampir kulit dan tulang saja. Bunda sudah dapat duduk dan berdiri, sebab ini sudah masuk hari ke-9 psca operasi.

"Papa mana bun?" 

"Papa mu lagi tidur di mobil, tiap malam tidurnya dibawah soalnya." Ia melihat karpet dan selimut yang terhampar dilantai tepat dibawah nakas bunda.

"Halo tante, saya Kala. T-te-" 

"Ini Kala bun, pacar Raja." Raja memperkenalkan Kala langsung sebagai pacar membuat Kala sedikit kikuk. Sebab rencananya ia ingin berkenalan yang lebih proper dan sopan, bukan dalam keadaan seperti ini.

"Kebetulan saya bawa buah-buahan tante, dimakan yang banyak supaya lekas sembuh." Kala meletakkan bingkisan buah di atas meja.

"Oh nak Kala salam kenal saya Ratih, bundanya Raja."

"Lebih cantik aslinya ya, kamu pinter nyarinya." Canda Bunda pada Raja, membuat Kala tersipu malu. 

"Bunda lebih cantik." 

Mungkin Kala dan Bunda asyik mengobrol, sedangkan Raja dirinya hanya diam mengamati mereka. Namun tatapannya lebih intens pada kondisi bundanya itu. "Bunda kok kurus banget, makan yang banyak lah bun.  Nanti baju bunda jadi kebesaran semua." Raja memegang lengan bundanya, mengelus lengan yang keriput itu.

"Bun, ini makanannya dimakan kok masih ada sisa. Ini udah disediakan sama Rumah Sakit kenapa gak dihabisin?" 

"Raja suapi." Kala melihat sikap Raja yang cerewet namun terkesan marah, ia sebenarnya bingung dengan sikap Raja ini. Ia seolah enggan peduli, namun ia peduli akan tetapi ditutupi oleh cerewet dan rasa marahnya. Emosi kecewa, sedih, amarah berpadu menjadi satu. Sulit untuk mendeskripsikan sikapnya saat ini.

"Biar aku aja, kak Raja istirahat cuci muka dulu." Kala mengambil alih mangkok yang dipegang Raja, dirinya tak ingin membuat bunda merasakan emosi yang dikeluarkan oleh Raja. Ia tahu jika Raja enggan, namun dengan tatapannya ia tatap dalam-dalam kedua manik Raja untuk menguatkan.

Dirinya keluar untuk mencari minuman, sebelum dirinya masuk ke bangsal ia melihat vending machine soft drink yang tak jauh. Hingga sampai dirinya melihat papa nya sedang tidur di luar bangsal, dengan jaket sebagai bantal dan topi guna menutupi wajahnya. Ia tak sadar saat pertama kali datang kesini.

Sedih, kecewa, marah ia rasa. Melihat kedua orang tuanya yang dalam masa tuanya masih harus berjuang. Sedih, meskipun ia tak dekat dengan papa dirinya tetap anaknya. Rasa sakit melihat hal itu menusuk kedalam batinnya. Memori tentang orang tuanya yang indah, tergantikan dengan memori baru yang berisi penderitaan.

Tanpa sadar, ia meneteskan air matanya. Dengan cepat dirinya melangkah menjauh mencari toilet untuk menenangkan diri. Sepanjang jalan melewati koridor, bukan rasa sedih yang memuncak. Namun rasa amarah dan kecewa. Ia pun tak tahu harus mendeskripsikan dirinya seperti apa lagi. 

Raja dan semestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang