Meskipun sudah lama sejak terakhir kali Joevian membawa sepeda, ternyata pria itu bisa menjadi pengendara sepeda yang jauh lebih baik daripada Raine.
Jalanan menanjak dan bertekstur akibat batu-batu membuat Raine beberapa kali hampir hilang keseimbangan. Niatnya untuk menikmati pemandangan hijau di kiri dan kanannya harus ia urungkan seketika.
Apalagi karena Joevian yang sama sekali tidak peduli. Pria itu mengayuh pedal sepeda dengan santai dan cepat, dan hanya akan berhenti jika sudah tidak tahu arah.
Sekalipun, Joevian tidak terlihat ada niat membantu Raine. Sikap itu membuatnya dongkol, tetapi Raine tidak tahu harus mengharapkan apa dari orang seperti Joevian.
Sesaat setelah melewati perjalanan yang memberikan sensasi berbeda untuk keduanya, mereka sampai di pinggir sungai yang dimaksud oleh Marie dan teman-temannya.
"Ya Tuhan."
Suara itu datangnya dari Raine yang, begitu memarkir sepeda, harus menerima stres. Tentu saja, pemikiran orang tua klasik bahwa mendayung Kano bersama pasangan adalah hal yang romantis.
"Hadiahnya dayung kano?" Tanya Joevian sembari menghampiri Raine yang berkacak pinggang, berpikir keras tentang apa yang bisa mereka lakukan tentang ini.
"Mau naik ini?"
"Mau. Tapi yang dayung cuma lo aja, ya?"
Padahal jelas di hadapan mereka adalah kano, perahu kecil, panjang, dan sempit yang diperuntukkan untuk dua orang. Oleh karena itu, dayung yang digunakan memiliki satu bilah saja.
"Ini kano," awali Raine.
Singkatnya, ia bicara dengan harapan Joevian langsung bisa mengerti.
Tapi pria itu malah menyilangkan tangan. Waktunya begitu tidak pas untuk bersikap angkuh, karena kepala Raine rasanya dipenuhi semut, dan bisa menyetrum banyak orang dengan rasa kesalnya.
"Dayungnya cuma satu bilah. Jadi, manualnya satu orang dapat bagian buat dayung sebelah kanan, satunya kiri. Kalau aku disuruh megang dua dayung gitu buat beban kita berdua, gak mungkin bisa."
"Sempit dan terlalu kecil." Gumam Joevian, memperhatikan kano dihadapan mereka.
"Kalau besar dan lebar namanya kapal feri," timpal Raine dengan senyum manis, tipis-tipis bersikap sarkastik pada pria sesensitif Joevian yang kini mengangkat alis. Terlihat tidak terhibur dengan candaan singkatnya.
"Yang gak cocok sama perairan tenang kayak sungai gini, makanya gak ada," sambung Raine, dengan sempurna menyatukan kalimat tersebut hingga terdengar masuk akal.
"Cuma orang bodoh yang berharap ada kapal feri di sungai," Sahut Joevian.
"Cuma orang bodoh juga yang gak expect perahunya bakal kecil panjang di perairan tenang begini." Bisik Raine lebih kepada diri sendiri.
"Udah berapa kali lo ngatain gue dengan cara gerutu gitu. Jangan kebiasaan."
Dari kalimat yang terlontar, tampaknya Joevian selalu menangkap gerutuan Raine yang perempuan itu kira sudah cukup pelan untuk diucapkan. Raine jadi terbiasa karena selama ini tiap kali ia menggerutu, Joevian tidak pernah menegurnya.
Sambil menghela nafas, Raine sedikit membungkukkan badannya kearah Joevian.
"Maaf, tuan muda."
Joevian menggerakkan tangannya dua kali, gestur mirip seperti mengusir tapi kali ini sepertinya agar Raine bisa berhenti.
"Gak penting. Sekarang cari alternatif supaya kita bisa disini lebih lama tapi gak harus naik kano berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alleure
RomanceHollywood's fallen prince, Joevian Earl Alarie, returns home. Binds him to Raine Grace Arabella, whose life intertwined with Alarie's saga her whole life, once again.