22. Veil of Silent Echoes

1.2K 257 126
                                    

Sebagai sepasang muda-mudi yang baru saja mengikrarkan ikatan pernikahan mereka kemarin, kehidupan Joevian dan Raine terasa seperti berlari tanpa henti. Baru saja kemarin mereka merayakan acara pernikahan, hari ini mereka sudah kembali menghadapi realita sebagai mahasiswa.

Bulan madu yang seharusnya menjadi momen manis dilewatkan begitu saja. Alih-alih menikmati masa transisi, Joevian dan Raine langsung terjun ke medan perang yang hanya melibatkan mereka berdua.

Perang yang dimaksud adalah perang dingin. Ruang makan Alarie pagi ini menjadi saksi bisu ketegangan tersebut.

Suasana sunyi meski ramai pelayan berlalu lalang menyajikan berbagai hidangan sarapan. Raine merasa iri melihat senyum manis yang menghiasi wajah-wajah pelayan, kontras dengan wajah muramnya.

Meja panjang dengan dua belas kursi berwarna putih beraksen emas tampak elegan, namun suasana tidak harmonis. Raine memilih duduk di samping Monica, menghindari konfrontasi langsung dengan Joevian. Mereka duduk berjajar, menciptakan ketidaknyamanan yang terasa jelas di udara.

Monica, yang duduk di samping Raine, merasakan ketegangan itu. Dia mencoba mencairkan suasana dengan senyum lembut dan percakapan ringan, namun dinginnya perang batin antara Joevian dan Raine membuat suasana tetap tegang.

"Raine," panggil Monica dengan lembut, suaranya hampir seperti bisikan di tengah keheningan. Raine menoleh ke samping, mengira sikapnya akan ditegur dengan keras.

Namun, Monica tampak tenang, meskipun harus menolehkan wajahnya berkali-kali. "Mulai hari ini, kamu harus pergi dengan supir ya, kemana-mana."

Hati Raine berdebar, perasaan tidak nyaman sejak tadi malam kembali menyeruak. Ia tahu hal ini diperlukan, tapi kenangan tentang betapa menyenangkannya bepergian bersama teman-temannya membuatnya merasa berat.

Raine merasa khawatir, memiliki supir pribadi akan terlihat mencolok di depan teman-temannya. "Maaf sebelumnya, tapi sepertinya mengingat keadaan sekarang dimana hubungan ini masih rahasia untuk publik, tiba-tiba memiliki supir pribadi bisa menimbulkan asumsi," jawab Raine dengan suara pelan, merasa tidak enak membantah pinta Monica.

Monica tersenyum tipis, namun matanya menyiratkan pemahaman. "Loh? Memangnya punya supir pribadi itu hal yang gak lumrah ya?" tanyanya dengan nada penasaran.

Raine hampir tertawa, ucapan itu terdengar seperti lelucon baginya. Tapi melihat Monica yang kelihatan benar-benar bertanya-tanya, ia sadar bahwa orang seperti Monica mungkin kurang memahami hal ini. "Untuk di lingkungan Raine, memang jarang-jarang, nyonya," jawabnya.

Monica mengangkat alis, lalu menepuk tangan Raine dengan lembut. "Mama!" koreksi Monica cepat, senyum hangat menghiasi wajahnya.

Raine mengangguk, mengulang kata 'Mama' yang masih terasa asing di lidahnya, namun perlahan mulai terasa lebih akrab. Ia merasa sedikit lega, meskipun perasaan cemas masih menggelayuti hatinya. Monica pun tersenyum, seolah mengerti semua perasaan yang berkecamuk di dalam diri Raine.

"Kalau gitu, gimana kalau tetap pakai supir pribadi tapi berjarak gitu. Misal Raine pergi ke suatu tempat, kirim pesan ke supirnya, jadi kalau perlu gak bakal repot."

Ide itu membuat Raine sedikit meringis sebelum tertawa canggung. Ia bertanya-tanya apa ini opsi terakhirnya? Padahal jika supir keluarga Alarie bisa Raine hubungi saat perlu saja, rasanya sudah cukup.

Kemudian, ia tahu ini adalah yang paling longgar dari seluruh opsi penjagaan yang bisa ia terima. Dengan pemikiran itu ia mengangguk.

"Itu opsi yang baik, terima kasih banyak atas pertimbangannya, Ma."

"Kalian akan kembali kan ke penthouse mulai hari ini?"

"Iya, mungkin Raine bakal kembali besok buat mengambil barang-barang yang tersisa."

AlleureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang