29. Midas Touch: Whispers of Golden Dreams

1.8K 344 172
                                    

"And that's not just a threat, it's a promise."

Begitu kata-kata itu keluar, Raine merasakan gelombang keraguan menghantamnya. Haruskah dia meruntuhkan dinding dan mengungkapkan perasaan jujurnya? atau lanjutkan saja sikap tegar dan menantang yang terlanjur dia bangun?

Pilihan pertama tampak seperti pilihan terburuk, mengingat dorongan terdalamnya adalah berlutut di hadapan Joevian dan mengakui bahwa dia hanya bercanda. Meskipun sebenarnya dia serius. Tapi mundur sekarang mungkin pilihan terbaik.

Wajah Joevian seperti topeng kemarahan, terlihat tidak percaya. Raine bahkan hampir bisa mendengar suara gigi pria itu bergemeretak. Satu gerakan yang salah dan mungkin Joevian akan meledak.

"Tell me you're joking," katanya dengan nada rendah dan berbahaya. Sulit untuk menentukan apakah itu permintaan atau permohonan, tapi Raine jadi tahu dia tidak bisa mundur sekarang.

"Aku gak bercanda. Malah, kayaknya ini salah satu momen paling serius. Kan sudah dibilang dari awal, kalau di hari pernikahan kita itu aku paling gak mau coba membohongi The Divines, dan saat itu aku bersumpah buat menikah kamu saat masa terbaik ataupun terburuk," kata Raine, menekankan kata 'terburuk'. "Makanya kalau kamu siap ngelakuin hal buruk, aku ikutin juga! Partner in crime atau apapun istilahnya deh!"

Tangannya bergerak liar saat berbicara, mengkhianati kegugupan yang Raine rasa. Tatapan intens Joevian menancap padanya dengan tegas.

Joevian tetap diam, sementara Raine sekarang mulai mengetukkan kakinya dengan tangan yang disilangkan, matanya menyipit dalam kebingungan dan frustrasi.

Ruangan di sekitar mereka terasa pengap. Cahaya redup dari satu bola lampu di atas kepala memancarkan bayangan panjang, Raine semakin tertekan dalam situasi yang ia bangun sendiri.

"Kita masih ngomong kan ini?" tanyanya ragu-ragu.

Mata Joevian berkedip, ekspresinya tak terbaca. "Masih," jawabnya singkat.

"Terus kamu kapan ngomongnya?" tekan Raine, alisnya semakin berkerut.

"Gue gak bisa ngomong karena lo banyak omong daritadi, mana isinya kosong!" Joevian bicara dengan cara tajamnya seperti biasa.

Raine merasa kesabarannya ikut menipis. "Maaf ya karena jadi orang yang ngobrol di suatu percakapan. Mungkin kita bisa coba cara obrolan baru dengan GAK bicara sama sekali!" balasnya jelas kesal.

Wajah Joevian berubah lebih terganggu, tapi ada kilatan sesuatu yang lain di matanya—keraguan, mungkin?

"Gak semua orang bisa ngerti kebodohan seseorang gitu aja! Gue perlu waktu buat bisa paham kenapa seseorang bisa se bodoh ini."

"Oh great, another discourse about 'Stupid Raine'," Tukasnya, sambil memutar mata. Sarkasme dalam suaranya begitu tebal.

"Karena cuma orang bodoh yang bicara omong kosong, persis kayak lo barusan," Joevian menyambar, Raine bisa dibuat sakit kepala dengan banyaknya kata 'bodoh' yang Joevian lempar padanya.

"Itu bukan omong kosong, gak ada satu hal pun yang gak masuk akal dari ucapan aku. Semuanya bisa kok diproses pake logika, lagian katanya gak ada yang bikin takut? Terus ngapain harus marah?" tanya Raine yang merasa emosinya ikut ditekan.

Dia tahu bahwa tindakannya tidak bisa ditoleransi oleh Joevian. Karena melihat bagaimana pria ini sedang menahan-nahan emosi.

Tapi kenapa harus terlihat sangat marah? Memangnya yang ia lakukan berhasil membuat Joevian takut? Raine tidak yakin tentang itu.

Atau apakah pria itu marah karena kata-kata Raine, yang mencoba memberitahu apa yang harus dilakukan oleh Joevian, terasa seperti menginjak egonya? Sepertinya juga bukan itu.

AlleureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang