Central Courtyard selalu menjadi jantung yang menyatukan para mahasiswa Macquarie. Sebagai area paling terkenal di kampus, sering kali dianggap sebagai titik pertemuan bagi mahasiswa.
Pada banyak kesempatan, kelompok-kelompok gadis dan pria berkumpul di sini, terlibat dalam godaan yang penuh canda tawa. Tempat yang ramai ini sering kali menyoroti kehadiran seorang individu yang sendirian, membuat mereka terlihat seperti tokoh utama karena aura mereka yang kontras.
Mungkin salah satu skenario ini yang memotivasi Raine dan teman-temannya untuk berkunjung hari ini. Mereka memilih tempat di luar, menikmati udara musim gugur yang segar yang selalu terasa seperti pelukan lembut bagi mereka.
Suasana di sekitar mereka dipenuhi dengan kehangatan sinar matahari musim gugur. Daun-daun emas dan merah tua menari di angin sepoi-sepoi, membawa aroma tanah musim ini.
Sesekali, Raine akan tanpa sadar memutar rambut pirangnya yang panjang dan menyesuaikan cardigan rajut hijaunya, sambil sepenuhnya terpaku pada tablet Cola—sebuah perangkat yang tampaknya selalu melekat di tangannya sejak mereka tiba.
"Hei!" Seorang pria tinggi dengan tubuh atletis dan rambut pirang acak-acakan mendekati kelompok mereka, senyumnya memancarkan pesona. Raine melirik sebentar, rasa penasarannya terbangkitkan, hanya untuk menyadari bahwa pria itu sedang menuju ke arah Willow.
"Hai," jawab Willow, suaranya nyaris berbisik, pipinya lebih berwarna merah cerah dari buah persik matang.
Cola, Raine, dan Janice saling bertukar pandang penuh arti, berusaha menjaga ketenangan mereka. Namun, di bawah meja, kaki mereka bergerak gelisah, sebuah bukti diam-diam dari usaha untuk tidak mempermalukan teman mereka.
Raine merasakan jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena tablet di tangannya, tetapi juga karena kegembiraan yang terasa nyata dari momen itu.
Willow, dengan pipinya yang merona, terlihat rapuh dan penuh harap. Cola dan Janice, meskipun berusaha keras untuk terlihat santai, tidak bisa menyembunyikan energi gugup mereka.
Mereka mulai mengobrol, saling memperkenalkan diri, sampai pria itu, dengan wajah agak malu, memberanikan diri untuk mengambil sesuatu dari sakunya.
"I just really think that you're beautiful," katanya, memberikan selembar kertas dengan nomornya. "This is my number. I didn't want to pressure you into giving yours, but you can do whatever you want with mine."
Mata Raine melebar, sejenak melupakan tablet Cola. Dia melihat teman-temannya, ekspresi mereka mencerminkan kegembiraan yang sama. Mereka benar-benar senang untuk Willow.
"I see, thank you for being so considerate," jawab Willow, wajahnya berseri-seri dengan senyum cerah saat dia memegang selembar kertas kecil itu, "I'll see what i can do with this number."
Kata-katanya membuat pria itu tertawa lepas. Dia mengucapkan selamat tinggal dan kembali ke teman-temannya.
Cola adalah yang pertama bereaksi. Sesuai dengan kebiasaannya, dia secara dramatis menempelkan wajahnya ke meja kayu tempat mereka duduk.
"AAAAAAA," dia berteriak sekuat tenaga, benar-benar lupa untuk menutup mulut dan menahan ledakan histerisnya.
"Lo gila? Kok teriak gak nutup mulut sih? Kalau se besar ini volumenya sampai ke NUSW pun mungkin udah kedengaran suara lo, Cola," kata Janice, menyembunyikan wajahnya di balik cangkir kopi seolah-olah itu bisa benar-benar menyembunyikan rasa malunya.
Raine menggelengkan kepalanya, tidak bisa memahami mengapa tidak ada satupun temannya yang bisa bertindak alami dan normal. Terutama Willow, yang sekarang mengedipkan matanya, wajahnya memerah dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alleure
RomanceHollywood's fallen prince, Joevian Earl Alarie, returns home. Binds him to Raine Grace Arabella, whose life intertwined with Alarie's saga her whole life, once again.