46. A Thousand Roads to You

1K 193 70
                                    

Joevian sudah terbiasa menghadapi kilatan kamera yang selalu mengarah padanya ke mana pun ia pergi. Dia tumbuh di bawah sorotan yang tak pernah berhenti itu, terbiasa dengan perhatian mereka.

Namun, saat ribuan kilatan itu menyerbu tak berujung, saat ia dengan tangan yang bergetar dan suara yang gemetar mulai mengungkapkan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan, Joevian menemukan dirinya menutup mata, menghela napas dalam-dalam, dan berusaha teguh agar rahasia kelamnya kini menjadi sesuatu yang diketahui dunia.

"Joevian, why didn't you say anything sooner?"

"This changes everything about Luca's death. Did you only find out recently about her involvement?"

"To what extent did she harass you?"

Pertanyaan-pertanyaan itu menghujamnya bertubi-tubi, tanpa henti.

Pujian atas keberaniannya pun mulai bermunculan. Banyak orang yang mengagumi bagaimana Joevian, kurang dari dua puluh empat jam setelah penangkapan awal Octavia, langsung berdiri untuk berbicara. Bahkan ayah dan ibunya belum sempat terbang ke London untuk mendampinginya, tapi Raine hadir. Dan kehadirannya cukup—mungkin satu-satunya alasan yang membuat Joevian bisa tegak berdiri dan menghadapi semuanya.

Di antara tatapan penasaran dan pandangan simpati yang tertuju padanya, mata Joevian hanya mencari satu orang. Di ujung ruangan, Raine berdiri mengenakan pakaian serba hitam, matanya berkilau karena air mata yang sesekali ia seka, wajahnya penuh penyesalan yang diam-diam menyiksa.

Joevian hampir tak tahan melihatnya begitu terluka. Cahaya yang selama ini Raine bawa dalam hidupnya, warna yang telah menghidupkan kembali jiwanya, perlahan-lahan mulai redup di depan matanya.

Padahal, ia yang membawa mendung dalam hari-hari Raine. Ia yang nyaris membuat Raine celaka, hanya karena dirinya pernah begitu larut dalam kemarahan dan keegoisan.

Akhirnya, Joevian menyeret Thomas ke dalam masalah ini, berdiskusi dengannya mengenai setiap langkah, sementara Raine hanya bisa diam, tak mengerti. Membaca jurnal yang ditulis oleh Octavia saja sudah cukup untuk membuat Raine terisak-isak, menutup mulutnya dengan tangan dan menangis sejadi-jadinya.

Situasi yang ia ciptakan telah menggores luka di hati istrinya. Dan dengan pikiran itu, Joevian memutuskan untuk berdiri di sini hari ini, meluruskan segalanya melalui konferensi pers.

"Not long ago, I thought I'd forever be that selfish Joevian, wrapped up in his own world," Joevian berbicara di depan mikrofon dengan suara yang mantap. "Reflecting on it now, it was my pride and stubbornness that led me here. I kept quiet out of shame, afraid to face the cameras that once celebrated my victories but would now bear witness to my failures. I thought that hiding everything away was the easiest path forward."

Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung dalam keheningan.

"But silence does nothing to heal. Punishing myself won't erase what's been done. I've walked through the flames, and I've learned that the answer isn't in burying the ashes."

Suara Joevian semakin mantap, penuh dengan keyakinan.

"Twelve-year-old Joevian was just a boy brimming with dreams and ambitions. He wasn't the selfish one, it was those who thought they had the right to crush someone else's dreams to fulfill their own. Now, I stand here in a place of clarity and strength. I've reclaimed a voice that was once lost, and it's taken a long journey to rebuild, to find peace again. Today, I speak for that boy who once dreamed without fear. I speak for my friend whose life was taken too soon, for everyone who deserves the chance to hold on to their dreams. And I'm here, above all, for Raine—the woman who has redefined what it means to truly live. What it means to be me."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlleureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang