Seumur hidupnya, Raine selalu menghindari keluhan.
Setiap harinya, ia mengingatkan diri sendiri tentang semua yang ia miliki, bagaimana di luar sana ada jutaan orang yang mungkin bermimpi memiliki separuh dari apa yang ia jalani.
Namun, apa yang bisa ia lakukan saat Joevian berdiri di hadapannya, menggenggam Raine erat tapi masih lembut seakan ia rapuh, sebagai bentuk pelukan terakhir mereka—setidaknya untuk sementara?
Apa ia bisa menghentikan tangis rengekan yang terdengar lebih seperti permohonan tulus agar pria yang baru saja menghangat ini, untuk tidak pergi untuk waktu yang begitu lama?
"Don't cry," suara Joevian mengalun lembut, menjadi kata pertama yang terucap.
Aromanya yang khas menyelimuti Raine, seolah ingin menenangkan tubuh mungilnya yang dibalut dress kuning floral, begitu cerah, begitu kontras dengan kesuraman yang melingkupi mereka berdua.
Raine hanya bisa terdiam. Setiap kali ia mencoba membuka mulut, ada sesuatu yang menyesakkan, seolah semua kata-kata tertahan, digantikan oleh isakan yang menunggu pecah.
"I miss you already," lirihnya, nyaris tak terdengar.
Tak ada respons. Namun, untuk pertama kalinya, heningnya Joevian tidak membuat Raine gelisah. Mereka berdua masih sibuk mengendalikan diri, menyimpan emosi yang, jika dibiarkan lepas, akan membuat semuanya semakin berat. Apalagi, orang tua mereka tengah berkeliling di halaman depan, menunggu keberangkatan Joevian dan Nicholas.
Perpisahan ini sudah cukup pahit. Mereka tak perlu menambah beban dengan nostalgia yang berlebihan. Malam tadi, mereka sudah menyampaikan semua yang tak terucap melalui dansa dalam dekapan masing-masing.
Namun, itu rasanya tak cukup. Raine menggenggam kemeja putih Joevian lebih erat, jemarinya memutih, seolah enggan melepaskannya.
"Feel free to miss me," gumam Joevian, mengangkat wajahnya sedikit agar tatapan mereka bertemu, lalu melanjutkan, "I'll make sure I do the same."
Kata-kata itu seperti sentuhan lembut yang menyentak hatinya. Melihat mata Joevian yang tampak berat oleh perasaan, Raine nyaris tak bisa menahan isakan yang berdesakan di tenggorokannya.
Mereka yang ada di sekitar mungkin akan terkejut dengan apa yang Raine lakukan setelah ini. Bahkan para pelayan yang sigap pun tak menduga reaksinya. Tapi bagaimana bisa Raine, yang setiap kali Joevian memandangnya dengan tatapan lembut itu, menahan diri?
Tepat ketika tubuhnya hampir bergerak untuk menyerang Joevian dengan kasih sayangnya, tiba-tiba ia merasa tubuhnya melayang, diangkat dan dijauhkan oleh tangan-tangan yang terlalu cekatan untuk seleranya.
"What are you doing? LET ME GO! LET ME KISS MY HUSBAND!" protesnya, meronta-ronta dengan dramatis.
Monica hanya tersenyum lembut. "Kami khawatir, kalau gak sekarang, kalian gak akan pernah bisa berpisah." Nicholas tertawa kecil, diikuti orang tua lainnya.
Joevian tersenyum tipis, meskipun ada sebagian hatinya yang seolah enggan berpisah. Tapi dia tahu, ada benarnya. Raine sudah memeluknya erat selama lebih dari lima belas menit, dan mereka semua mulai cemas, apakah Joevian benar-benar bisa pergi dari genggaman istrinya yang begitu gigih.
"Joevian! Kamu serius mau pergi? Gitu aja? Tanpa apa gitu?" Raine berseru dengan nada yang hampir terdengar seperti rengekan.
Wajah Joevian memerah. Raine benar-benar membongkar citra dirinya—tuan muda yang dingin dan tak tersentuh. Tapi pada akhirnya, Joevian yang agung ini, seperti pria mana pun, bertekuk lutut pada wanitanya. Dan Raine, dengan senyum penuh kemenangan, tahu persis bahwa wanitanya itu adalah dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alleure
RomanceHollywood's fallen prince, Joevian Earl Alarie, returns home. Binds him to Raine Grace Arabella, whose life intertwined with Alarie's saga her whole life, once again.