Pada akhirnya, tidak ada yang bisa mengalahkan Sydney.
Saat Raine kembali, bertepatan dengan bergantinya musim di seluruh Australia. Sydney yang sering kali di selebrasi atas pantai-pantai indah dan langit cerahnya, berubah layaknya negeri ajaib indah setiap musim gugur.
Menuju kafe milik Eric, sepanjang berjalan kaki ia dibuat tak masalah. Rasanya begitu sempurna dengan suhu turun dan bagaimana kota menjadi kanvas yang dipenuhi dengan warna cerah merah, jingga, dan kuning.
Tangannya memegang paperbag, senyum mengembang penuh ketika mengintip lewat jendela dan melihat bahwa Jade, Janice, Elise, serta Eric sedang berbincang-bincang.
"Helloooo." Sambil mendorong pintu kaca, Raine menyapa panjang. Tangan bebasnya yang tertutup kemeja berwarna biru muda kebesaran, gaya klasik Raine di dalam kota, melambai lambat.
Semua teman-temannya terlihat lebih sadar ketika mendengar kombinasi sapaan serta bel tanda pengunjung datang yang berbunyi.
"Oh look, ini dia cewek desa kita." Seru Elise, Raine mencibir sesaat sebelum menghadap kearah Eric yang langsung berdiri, sengaja memberi ruang untuknya.
"Makasih." Jawabnya nyaris berbisik.
"We miss you so much! Kenapa ke Kangaroo Valley gak bilang-bilang, gue kangen Marie." Keluh Jade, tangan menjangkau Raine untuk ia pegang erat-erat.
"Dramatis. Kalian sok kangen karena baru tahu aja dari Janice kalau gue ke sana. Padahal kalau lagi musim kuliah di UNSW juga mana mau ngehampirin ke kampus kita."
Jade dan Elise terkekeh seperti ketahuan. Membuatnya bermain-main memutarkan bola mata, sampai sesuatu menangkap perhatiannya.
"Ada anggur?" Raine baru melihat botol anggur merah diatas meja mereka, serta empat gelas khusus minuman tersebut.
Ia melirik kearah Eric yang sudah lebih dulu melihat kearahnya, lembut dan hangat senyumnya ikut tercermin di mata pria itu lengkungnya menyerupai bulan sabit.
Raut ini sudah biasa Raine terima, dan selalu ia kagumi rasa teduh yang tersampaikan. Tapi kali ini, sambil mendongak kepalanya tak bisa berhenti berpikiran hal aneh.
Tidak ada lesung pipinya.
Entah kenapa ia malah mencari hal kecil itu. Perlahan Raine berusaha mengusir pemikiran yang datang entah dari mana.
"Ini musim gugur. Satu hal terbaik yang bisa dilakukan di Australia adalah pergi ke pinggir kota terus cobain wine atau petik apel. Tapi sebagai orang kota, we can't do applepicking but we can drink tiny bit wine." Eric menunjuk lembut dengan tangannya. "It's on the house."
Kata-kata bahwa pria itu mentraktir Raine dan teman-teman sudah sering kali terdengar. Perempuan itu sampai harus melambaikan tangan tidak setuju.
"Sering banget traktirnya! Jangan! We'll pay for this, please."
Raine mewakili teman-temannya yang juga ikut merasa tidak enak. Tiap kali kesini selalu dapat bonus dari Eric, tapi menerima satu botol anggur merah rasanya terlalu berlebihan.
"Tolong diterima, kalau enggak aku bakal ngerasa buruk." Pinta Eric terdengar begitu sungguh-sungguh, "Ini cuma bentuk apresiasi karena kalian sudah setia sama tempat ini."
Akhirnya setelah saling bertatapan, keempatnya setuju. Diam-diam setuju akan lebih sering kesini untuk membalas kebaikan Eric.
"Aku permisi dulu. Silahkan nikmati malamnya, dan boleh kalau mau makan pie daging yang Raine bawa, staff bakal bawakan cutlery buat kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alleure
RomanceHollywood's fallen prince, Joevian Earl Alarie, returns home. Binds him to Raine Grace Arabella, whose life intertwined with Alarie's saga her whole life, once again.