Raine mungkin tidur sangat nyenyak, tetapi tubuhnya bekerja seperti jam alarm. Dia tidur dan bangun pada waktu yang sama setiap hari, hampir otomatis, tanpa perlu ada yang membangunkannya.
Tapi pagi ini berbeda. Raine terlalu mengantuk untuk memahami segalanya, tapi ada sesuatu yang terasa aneh. Matahari yang terang menunjukkan bahwa ini jauh lebih siang dari waktu bangunnya yang biasa.
Dia tidur terlalu lama, yang tidak biasa, mengingat tubuhnya terasa seperti ditekan dari kedua sisi. Tidak ada bantal empuk atau boneka yang biasanya dia peluk erat saat bangun, yang seharusnya jadi salah satu ciri untuk membuat tidurnya tidak se nyenyak biasa.
Kali ini, ada sesuatu yang keras di bawah kain sutra yang digenggam tangannya. Perlahan, Raine meratakan telapak tangan dan menggerakkannya di sekitar permukaan keras itu, alis mengernyit saat merasakan teksturnya—ada garis-garis dan permukaan keras kecil yang tersegmentasi di antaranya.
Apa ini?
Dia menggerakkan tangannya ke bawah untuk menjelajahi lebih lanjut.
Clap.
Sebuah tangan segera menutupi tangan Raine dan menggenggamnya erat, seolah-olah untuk menghentikan eksplorasinya terhadap objek yang tidak dikenal ini.
Raine akhirnya membuka mata dan melihat ke bawah. Tangan yang melingkari pinggang kecilnya adalah tangan yang sama yang sekarang menggenggam tangannya. Kata-kata itu saja memusingkan.
Lalu dia harus memperhatikan kakinya yang terbungkus piyama merah muda nyaman terjuntai di atas... kaki yang terbungkus piyama hitam?
Ketika aroma maskulin tercium oleh hidungnya, otaknya yang mengantuk mulai hidup dan bekerja. Raine mengingat apa yang terjadi tadi malam dan bagaimana itu mungkin menjelaskan situasinya saat ini.
"Itu abs. Lo gak punya urusan buat menjelajahi itu kayak yang lo lakuin sekarang," suara pagi yang dalam dan serak mengganggu detak jantungnya yang cepat. "Dan kita... bakal dapat banyak masalah kalau tangan lo masih aja dibawa lebih jauh ke arah selatan."
Raine ingin bersikap tidak tau malu dan pura-pura tidur, sungguh. Tapi kata-kata Joevian membuat pipinya memerah. Ia yakin pria itu juga mendengar suara nafasnya yang tiba-tiba berat.
"Jangan pura-pura tidur sekarang," kata Joevian, menggoyangkan lengan atasnya dengan lembut.
"Lo serius mau pura-pura tidur?" tanya Joevian. "Raine, kita berdua juga tau ini lo udah bangun banget, mending ngaku sekarang. Kalau terus pura-pura, kita bakal canggung."
Pikiran Raine berpacu. 'Mungkin kalau aku tetap diam, Joevian bakal ngira aku bantal,' pikirnya. Tapi tawa kecil Joevian yang geli memberitahunya bahwa dia tidak mempercayainya.
Raine tidak bergerak, diam-diam mengutuk mengapa pria ini begitu cerewet dan aktif di pagi hari.
Joevian selalu mengklaim bahwa Raine agak ceroboh, dan pagi ini tampaknya membuktikan pendapat pria tersebut. Itu seperti tumpukan keputusan konyol, satu di atas yang lainnya, membuat Raine... yah, menjadi Raine.
"Setidaknya jauhin kaki lo dan gak usah megangin piyama gue erat banget gitu. Let me go," kata Joevian. Begitu mendengar ucapan tersebut, Raine segera melepaskan cengkeramannya dan memutar seluruh tubuhnya ke sisi lain, sekarang mungkin menghadap sofa.
Dia mengumpat pelan ketika mendengar Joevian bergerak menjauh.
'Bagus, pasti Joevian pergi ke kamarnya,' Pikir Raine.
Perempuan itu terus menunggu hingga dua menit sebelum berani membuka satu mata. Hanya untuk menemukan Joevian sudah berdiri di sana, dengan tangan disilangkan, melihatnya dari belakang sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alleure
RomanceHollywood's fallen prince, Joevian Earl Alarie, returns home. Binds him to Raine Grace Arabella, whose life intertwined with Alarie's saga her whole life, once again.