21. Retreating Constellations

1.5K 293 160
                                    

Menurut perhitungannya, perlu tiga puluh jam interaksi sampai bisa menjadi teman kasual, seratus empat puluh jam kebersamaan untuk bisa dihitung dekat, dua puluh satu hari sebagai kebiasaan, dan sembilan puluh hari sebagai gaya hidup.

Lalu sebenarnya dimana posisi Raine dan Joevian?

Raine ingin melirik ke belakang, di mana Joevian sedang berdiri sambil memegangi pundak tubuhnya yang duduk di kursi megah dan penuh ukiran milik keluarga Alarie.

Di ruangan tempat mereka melaksanakan pernikahan, di sana pula Raine dan Joevian berfoto sesuai tradisi. Meski sebenarnya sampai saat ini Raine tidak pernah menemui satu pun foto pernikahan dari keturunan Alarie terdahulu di bagian mana pun bangunan besar ini.

Ketika diumumkan bahwa pemotretan sudah berakhir, Raine masih duduk, sedang Joevian dengan cepat menarik tangan dari pundaknya.

Tertinggalah mereka di ruangan besar itu berdua. Malam semakin larut, baik Joevian dan Raine menciptakan suasana yang begitu bertolak belakang dengan pasangan baru menikah pada umumnya.

Jantung Raine berdebar, seakan tak bisa melepas euforia yang ia rasa atas hangat dan indahnya hari ini. Wajah merona, ucap terima kasih sudah tertinggal di tenggorokannya, menjadi satu langkah lain untuk mencapai Joevian yang kehangatan samarnya begitu mengundang.

"Joevian," panggil Raine pelan, suaranya nyaris tak terdengar, menarik perhatian pria dengan ekspresi stoik yang tetap tak berubah.

"Aku... dengar beberapa hal dari daddy tentang apa yang kamu lakuin, dan aku pikir ini momen yang sempurna buat mengucapkan terima kasih—"

"Itu karena rasa bersalah dan empati." Joevian memotongnya sebelum Raine bisa menyelesaikan kalimatnya.

"Lo udah terlalu jauh terlibat dalam masalah gue. Itu hal terkecil yang bisa dilakuin, supaya gak ada perasaan utang budi," kata Joevian dengan suara tegas. "Atau punya ikatan gak berguna di antara kita."

Napas Raine tertahan. Hatinya sakit menyadari bahwa Joevian bukan hanya tampak tidak peduli; pria itu memang perwujudan dari ketidakpedulian.

Joevian masih berdiri di sana, memancarkan kesombongan dan dingin yang selama beberapa hari terakhir Raine kira hanyalah akting. Bahwa itu adalah caranya melindungi diri dari segala sesuatu yang mungkin menyakitinya.

Namun Joevian terdengar sangat yakin, tidak memberi ruang bagi Raine untuk menawarkan sedikit pun keraguan.

"Really?" tanya Raine, suaranya penuh dengan luka dan rasa ingin tahu.

Dia tidak bisa memahami perubahan drastis ini, juga tidak bisa menyangkal pikiran bahwa Joevian melakukan semua ini karena rasa bersalah dan empati. Hatinya terasa seperti diperas, setiap detakan menggema dengan rasa sakit kebingungannya.

"Memang masuk akal, tapi aku pikir kita setidaknya bisa menjadi teman." Suara Raine bergetar sedikit, harapan rapuh menggantung pada kata-katanya.

"Terlalu bodoh buat mikir begitu," jawab Joevian dengan tegas, nadanya dingin dan tak kenal ampun. "Gue gak pernah cuma berteman sama perempuan. Bukannya kita punya diskusi ini sebelumnya?" Mata Joevian memandang keras.

"Tapi situasi kita kan lebih rumit daripada kebanyakkan. Maksudnya mungkin bisa jadi pengecualian buat jadi teman. Kita sedang berada di jalur yang benar buat saling mengandalkan—" Suara Raine melembut, permohonan agar Joevian mengerti terjalin dalam kata-katanya.

"Lo gak bisa bersikap sebagai bukti kalau lo gak bodoh dan naif atau gimana? Gue ngelakuin semua ini supaya gak ada istilah saling mengandalkan. You shouldn't need me, just like I shouldn't need you." Frustrasi Joevian merembes keluar, kata-katanya tajam dan menyakitkan. Rahangnya mengencang, dan matanya berkedip cepat seolah mencoba menahan amarah yang membara.

AlleureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang