38. Unfading Moments, Forever Ours

2K 304 149
                                    

Raine tidak pernah bermimpi menjadi seorang selebriti.

Mungkin sekali, dua kali, tiga kali, atau lebih tepatnya berkali-kali, ia akan berbicara seakan ada yang sedang mewawancarainya ketika ia sendirian. Kadang, ia juga merekam video kehidupannya sehari-hari dan berbicara seperti seorang entertainer berpengalaman, meskipun video-video itu tidak pernah benar-benar ia bagikan ke publik.

Ia hanya menikmati ide-ide konyol dan mengikuti apa yang muncul di pikirannya. Tapi, berada di bawah sorotan tajam kehidupan dunia hiburan dan menyadari bayangan gelap panjang yang akan ditinggalkannya, sama sekali bukan sesuatu yang Raine inginkan.

Jadi, ketika ia melihat keluar dari jendela mobil dan menyaksikan kerumunan orang yang berjalan cepat menuju mobil Joevian yang terparkir di kampus mereka, Raine mendapati dirinya bingung harus melakukan apa.

"Ini persis simulasi serangan gerombolan zombie!" seru Raine, yang hanya mendapat dengkusan kecil dari Joevian.

Tubuhnya semakin merosot di kursi, rambut pirang bergelombang dan sabuk pengaman menutupi wajah yang ia rias pagi ini.

Joevian, yang baru saja selesai melepas sabuk pengamannya, menaruh tangan kiri di atas kemudi mobil, memandangi Raine yang semakin tenggelam, seolah-olah siap bersembunyi dari dunia.

"Dari pagi sudah siap-siap, bilang mau kelihatan cantik di depan kamera hari ini. Berarti sudah sadar kalau kembali ke kampus bakal jadi pusat perhatian," ujar Joevian, nadanya datar namun tegas. Dia mendesah kecil ketika melihat Raine semakin menyembunyikan diri, "Duduk yang tegak!" pintanya dengan nada agak galak.

Raine mengerucutkan bibir bawahnya sembari merapikan bajunya. Joevian mungkin berhasil menyampaikan maksudnya, rumah mereka tadi pagi riuh dengan suara Raine yang bersenandung lagu-lagu ceria sambil berdandan dengan heboh, sementara Joevian makan sarapan dengan alis yang sesekali bertaut, memperhatikan energi perempuan itu.

Raine hanya ingin tampil percaya diri di depan banyak orang.

"Joevian, aku takut," bisiknya, melirik ke arah kerumunan orang yang semakin dekat dan mulai menempel pada mobil milik pria itu.

"Itu bodyguard sudah datang," ujar Joevian dengan tenang, menunjuk ke arah beberapa pria bertubuh besar yang mengenakan pakaian serba hitam. Sikap tenangnya sangat bertolak belakang dengan ketegangan yang terpancar di wajah Raine.

"Joevian and the terrified lady in fuchsia," gumam Joevian sambil menyusuri jaket tweed yang membungkus tubuh Raine dengan indah, "Kalau kamu keluar dengan ekspresi ketakutan gini, nanti headline berita bakal terdengar buruk."

Ibu jarinya mengelus lembut garis khawatir di wajah Raine lalu menekan ujung bibir perempuan itu, berharap senyum bisa terbit.

"Give me a smile?" pintanya dengan serius.

Dengan canggung, Raine menurutinya. Sekarang, wajahnya terlihat begitu kaku karena senyum yang dipaksakan, memperlihatkan deretan gigi yang gemertak.

Joevian tertawa kecil, "Well, now the headline would be 'Joevian and the lady with a creepy smile in fuchsia.'"

Raine mengerang pelan, mendengar nada olokan yang jelas dari Joevian di sebelahnya.

"Kamu sih udah biasa berhadapan sama banyak kamera, gimana aku coba? I'm a first timer!" gerutu Raine, cemberut.

"Makanya, I knew this battlefield more than you do. Tinggal nurut! Smile!"

"Males banget disuruh smile sambil dilototin gitu!" ujar Raine, tapi tetap berusaha mengikuti arahan Joevian dengan senyum yang sedikit kaku.

AlleureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang