41. To The Moon, With All That Is Mine (Part II)

1.4K 227 99
                                    

Warning : Octavia's POV

Los Angeles

Pagi itu matahari Los Angeles bersinar terik, pantulan cahayanya menyusuri setiap sudut rumah Octavia yang megah. Dari jendela yang besar, pemandangan pantai terhampar luas, namun tidak sepenuhnya bisa mengalihkan pikirannya. Dengan sebatang rokok di tangan, ia menghembuskan asap pelan, membiarkan udara musim panas mengisi paru-parunya. Tubuhnya bersandar malas pada sofa mahal di dekat jendela, sementara pikirannya sudah mengembara jauh ke depan.

"Dunia ini selalu terasa lebih tenang setiap kali Thomas pergi," gumamnya, setengah tersenyum licik, "Sekarang, dia di luar negeri lagi. Sibuk dengan pekerjaannya, bodoh seperti biasanya... tak pernah mencurigai apapun." nada mengejek terdengar, hampir seperti lelucon pribadi.

Di sisi lain ruangan, orang kepercayaannya berdiri tegak, diam menunggu instruksi. Mata Octavia menyipit saat meliriknya, seringai kecil muncul di sudut bibir warna merah tua milik perempuan tersebut.

"Sekarang aku bisa sepenuhnya fokus ke Joevian," katanya seraya menurunkan rokok dari bibir, sedang asap mengepul tipis. "Dan Raine... ah, gadis malang itu. Waktunya kita hancurkan dia. Sedikit demi sedikit, sampai hanya serpihan yang tersisa." Ucapannya begitu halus, tetapi setiap kata mengandung ancaman yang membuat bahkan orang kepercayaannya menunduk, getir dengan ekspresi tak nyaman untuk sesaat, lalu mendongak seolah tak menemui masalah.

"Semua sudah diatur, Nyonya. Orang yang kita tempatkan di acara I-Lead sudah bekerja dengan baik. Media juga sudah kami latih. Tapi ada sedikit masalah..."

Octavia menoleh tajam. "Masalah?"

"Theodore," orang kepercayaannya melanjutkan. "Dia sedikit merusak rencana kita. Hubungannya dengan Raine mulai merenggang, dan itu membuatnya tidak seefektif yang kita harapkan."

Octavia menegang. Wajahnya yang semula tenang berubah garang dalam sekejap. Dengan kasar, ia mematikan rokoknya dengan menginjaknya menggunakan kaki telanjang di atas lantai marmer. Suara serak dari gesekan kakinya yang telanjang membuat siapapun yang menyaksikan menggertakkan gigi, tak ingin membayangkan rasa panas yang seolah tak mengganggu perempuan paruh baya itu.

"That incompetent fool," desisnya dingin. Matanya menyala penuh amarah. "Dia hanya perlu mengikuti instruksi, tapi malah merusaknya. Aku akan urus Theodore sendiri," katanya dengan nada keras, wajahnya menatap kosong ke lantai seolah membayangkan Theodore di bawah kakinya. "Besok aku akan terbang ke Sydney. Jangan biarkan satu pun dari mereka lolos dari jaringku."

Orang kepercayaannya hanya mengangguk sekali lagi, tahu betul bahwa ketika Octavia sudah berbicara seperti itu, tak ada yang bisa menghentikannya.

Namun, di balik pintu, seorang pelayan yang telah diam-diam mendengar percakapan itu segera menyelinap pergi. Dengan hati-hati, dia berlari kecil ke pojok yang sepi, jantungnya berdebar kencang. Setelah merasa aman, dia merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan cepat kepada seseorang yang dikenal hanya sebagai "Mr. T."

"The storm starts tomorrow. More soon." tulisnya dalam sandi yang hanya mereka berdua mengerti.

Pesan terkirim. Sang pelayan menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa permainan ini telah dimulai, dan Octavia tidak akan berhenti sampai dia menghancurkan semuanya.

"Rain in the winter, they want us dead!"

Jade berteriak, menyeimbangkan beberapa kantong plastik di tangannya. Penampilannya jelas bukan yang terbaik.

Karena kalah taruhan, Jade dan Willow harus berjalan tiga blok untuk mengambil makanan mereka. Kedai kecil yang pemiliknya asli dari Cina itu memang membuat mala terbaik. Saking sukanya, mereka rela bertaruh melalui permainan, menentukan siapa yang harus pergi mengambil makanan.

AlleureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang