"Sachi, bangun!" Marie, ibu Sachi berseru saat mendapati putri sulungnya itu tak kunjung bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi.
"Bu..." Sachi meringis pelan, gadis dengan rambut berwarna merah muda itu nampak meremas perutnya yang terasa sakit dibarengi dengan wajahnya yang nampak pucat.
"Aku merasa kurang sehat hari ini, bolehkah aku tidur sedikit lebih lama?"
"Tidak. Siapa yang akan memasak nanti?" Permintaan itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Marie terlebih dimatanya, Sachi kelihatan baik-baik saja. "Ayo, cepat bangun!"
Ditariknya lengan kurus Sachi dan dipaksanya gadis itu untuk turun dari ranjang. "Sachi, ayo! Jangan bermanja. Ingat, kau terlahir di keluarga miskin. Semua harus bekerja!"
Sachi mengangguk patuh, mencoba untuk berdiri tegak diatas kedua kaki lemasnya. "Bu, boleh aku minta obat?"
"Sachi, pengeluaran bulan ini sudah sangat banyak. Sakitmu tidak parah, kau hanya salah makan. Kau makan apa semalam?"
Sachi bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. "Sedikit saja, Bu." Bujuknya dengan nada memohon.
"Kau tahu berapa harga obat?" Marie akan mulai mengomel, Sachi hapal betul apabila ibunya sudah membahas harga dari sesuatu pasti akan merembet kemana-mana termasuk membahas biaya membesarkannya dari bayi sampai sekarang.
"Usiamu sudah 18 tahun, Sachi! Kau seharusnya pergi bekerja atau menikah saja dengan lelaki kaya untuk mengubah nasib keluarga kita dan nasib adikmu."
"Aku akan memasak, Bu." Sachi menyahut pelan seraya melangkah gontai keluar dari kamar, meninggalkan Marie yang masih mengomel disana.
Daripada kepalanya pecah karena mendengar omelan, akan lebih baik menahan sakit sambil memasak di dapur. Meski Sachi tidak tahu apa yang harus dia masak. Sebab tepung gandum pun mereka tidak punya, semuanya sudah habis.
Mendengar langkah Marie mendekat ke dapur, Sachi segera berbalik dan bertanya. "Bu, apa yang harus kumasak hari ini?"
"Carilah diluar atau minta pada tetangga."
"Aku sudah melakukannya kemarin, Bu."
"Lakukan lagi!"
"Bu," Sachi menghela nafas tak habis pikir. "Aku tahu kau memiliki cukup uang dalam tabungan, berikan sedikit untuk--"
"Jika bisa dapatkan gratis kenapa harus repot membuang uang? Kita miskin Sachi! Kita miskin!" Bentak Marie sampai liurnya sedikit muncrat ke arah Sachi.
Gadis kurus itu hanya bisa menghela nafas setelah dibegitukan. Mau bagaimana lagi? Sachi dipaksa menurunkan harga diri setiap hari dan menjadi omongan para tetangga karena terus meminta bahan makanan pada mereka tanpa merasa malu.
Bahkan saat sakit, Sachi tidak dibiarkan istirahat. Ayah dan ibunya bilang, Sachi harus mandiri dan kuat karena terlahir sebagai perempuan.
Tetapi, mereka berdua bahkan tidak menerapkan hal itu pada sang adik yang juga sama-sama perempuan.
"Jeanne, bagaimana sekolahmu?"
Berbeda dengan Sachi yang tidak disekolahkan karena masalah ekonomi, adiknya--Jeanne disekolahkan oleh sang ayah yang mendadak mati-matian menjadi pekerja keras di ladang majikan.
"Sekolah terasa menyebalkan, Bu. Apa semua bangsawan melakukan ini?"
"Yaaaa! Para bangsawan melakukannya, bukankah kau ingin menjadi bangsawan? Ah, tidak. Jeanne-ku harus menjadi bangsawan dan menikah dengan Pangeran tampan." Ucapan Marie di ruang tamu tak sengaja di dengar oleh Sachi yang datang dengan dua cangkir berisi teh hangat untuk disajikan pada ibu dan adik perempuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Relationship With Antagonist
FantasyKarena kesamaan rupa antara gundik yang ditemuinya di rumah bordil dengan Parvis Loine sang tokoh utama wanita sekaligus gadis yang dicintai oleh Izek Zachary--si tokoh jahat dalam novel Bride of death, Sachi di pungut dan di kirim kepada Lennox Pax...