10 | Parvis : The Letter

15.6K 1.7K 110
                                    

Terhitung sudah genap dua hari Parvis istirahat total di kasur untuk fase pemulihan sampai benar-benar sembuh. Tak melakukan apapun membuat gadis itu merasa sangat bosan terlebih saat ini pikirannya berkecamuk, mengira-ngira siapa seseorang yang mengirimkan karangan bunga sebesar itu.

"Mungkinkah Dia yang mengirim bunga itu?" Parvis tersenyum tipis saat memikirkan Lennox, pria yang dijodohkan dengannya sejak kecil namun sampai saat ini mereka belum dipertemukan lagi.

Senyum Parvis melebar. Gadis berambut merah muda dengan mata cokelat keabuan itu beranjak bangkit dari kasur dan berlari kecil menuju meja besar yang terletak dekat balkon kamar. Pelan-pelan Parvis menarik kursi dan duduk diatasnya lalu meraih pena tinta  kemudian menulis diatas kertas kosong.






—Aku mendapatkan karangan bunga yang  
sangat besar dua hari lalu, aku alergi  
karenanya. Kalau itu darimu, aku tidak   
akan marah. Itu darimu, kan?   

• Parvis Loine   







Merasa cukup dengan tulisannya, Parvis menggulung kertas dan mengikatnya dengan tali kain lalu menggenggamnya erat. Tak sabar untuk menitipkan surat itu pada tukang kebun kepercayaannya untuk disampaikan pada Lennox saat pria itu pergi ke pusat kota untuk membeli benih dan pupuk tanaman.

"Parvis."

Deg!

"Y-ya, ayah?" Parvis bangkut berdiri dan berbalik menyambut kedatangan sang ayah, Darelin Loine, dengan senyum manis. "Ayah disini?"

"Bagaimana keadaanmu?" Darelin bertanya dengan nada hangat yang di dalamnya terselip intonasi kekhawatiran. "Sudah lebih baik?"

Kepala Parvis mengangguk. "Lebih baik dari kemarin. Aku tidak apa-apa ayah. Kurasa Pangeran tidak tahu ada bunga yang membuatku alergi diantara karangan bunga itu."

"Itu dari Pangeran?" Satu alis Darelin terangkat. "Benarkah?"

"Ya." Angguk Parvis bohong. "Dia mengirimnya untukku." Padahal aslinya Parvis juga tak yakin bunga itu dari siapa. Berbohong terpaksa Parvis lakukan agar Darelin tak memperpanjang masalah dengan mencari pengirim bunga tersebut apabila Parvis menjawab tidak tahu.

"Baiklah kalau begitu." Ekspresi Darelin mengendur, sebelum pergi pria itu menyempatkan diri untuk mengusap lembut puncak kepala putri semata wayangnya lalu pamit dan berpesan. "Walau sudah merasa lebih baik, kau tetap harus beristirahat total setidaknya dua hari lagi."

Parvis tersenyum menanggapi, melihat bagaimana sang ayah menarik tangannya dan pergi meninggalkan kamar serta memberi kelegaan padanya.

"Fyuh~ astaga, hampir saja..." Gumam Parvis buru-buru meraih kertas gulungan yang masih berada di meja lalu menyembunyikan dibawah bantal sebab hari masih belum malam.

Lagipula akan terlalu mencolok kalau dirinya yang baru sembuh sakit tiba-tiba sudah berada di taman belakang.

"Parvis!"

Deg!

Untuk kedua kalinya Parvis terkejut pagi ini namun bukan sang ayah yang mendadak datang lagi melainkan kehadiran Briana, pelayan pribadi Parvis sejak kecil. Umur mereka sama sebab Briana memang ditugaskan untuk menjadi teman bermain Parvis saat umur keduanya sama-sama masih delapan tahun.

"Briana," Parvis menghela nafas lega sambil mengusap dadanya dan memperhatikan Briana yang cepat-cepat menutup pintu kamar lalu kembali ke hadapannya. "Kau benar-benar membuatku terkejut."

"Hehe..." Briana terkekeh lalu berjinjit dan mendekat ke telinga Parvis untuk membisikan hal penting. "Cesire ingin bertemu denganmu."

Seketika ekspresi senyum kecut terbit di wajah Parvis. "Dia lagi? Apa uang yang waktu itu masih kurang?"

Relationship With AntagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang