18

156 24 0
                                    

DALAM CERITA INI HANYA FIKSI

DAN DILARANG MENYEBARKAN CERITA KE MEDIA SOSIAL MANAPUN

TERIMAKASIH SEBELUMNYA

*

*

*

.

.

.

Adel masih Apartemen Chika

"Adelyn bilang kamu udah teror karyawanmu," kata Chika, sambil ngeliat Adel.

Ruangan itu gelap, cuma ada lampu kecil di samping tempat tidur yang bikin suasana jadi adem banget. Adel pelan-pelan ngelipet rambutnya dari muka, naruhnya di belakang telinga.

Setelah mereka minum anggur, mereka pindah ke tempat tidur, baring berhadapan, ngobrol dan saling sentuh dengan cara yang udah nyaman banget. Meskipun cuma satu gelas anggur, wajah Adel udah mulai merona.

"Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin," jawab Adel sambil mendengus.

Adel makin tenggelam di kasur empuk, merasa kalah di bawah tatapan Chika yang tajam.

"Itu karena yang ada di pikiranku cuma kamu," lanjut Adel, suara pelan banget.

"Maaf, aku nggak bermaksud ngomong gitu ke kamu waktu hari Sabtu," kata Chika, matanya melunak denger pengakuan Adel.

"Udah nggak apa-apa," jawab Adel, santai.

Chika tarik napas dalam-dalam, kayaknya udah siap buat cerita semua. Dia merasa cukup nyaman buat ngebuka semua yang ada di dalam pikirannya.

"Kayaknya aku harus mulai dari awal deh," kata Chika.

"Nggak perlu," jawab Adel dengan lembut, meski dia tahu ini bukan hal yang gampang buat Chika.

Chika merasa bersyukur banget punya Adel, yang peduli dan paham banget. Dia sabar banget sama Chika, nggak pernah maksa Chika untuk ngomongin hal yang nggak bikin dia nyaman. Makanya, Chika merasa perlu banget untuk mulai ngurangin pertahanannya.

"Aku mau," ucap Chika pelan.

Dan akhirnya, dia mulai cerita, dan Adel dengerin penuh perhatian.

"Waktu aku tumbuh dewasa, aku selalu kritis banget sama diri sendiri—bahkan sampai sekarang masih kayak gitu. Aku selalu ngerasa nggak cukup bagus dibandingin sama orang-orang di sekitar aku, apalagi pas di SMA. Dan SMA itu bener-bener mimpi buruk deh buat aku. Sampai sekarang, aku nggak ngerti kenapa aku diganggu banget waktu itu," cerita Chika.

"Mungkin karena aku kebalikannya Chris. Dia atletis dan populer, sementara aku pemalu dan lebih suka sendirian. Yang lebih parah, aku nggak pernah coba buat bela diri—aku nggak pandai banget konfrontasi," lanjut Chika.

"Kamu masih belum jago juga kok, Sayang," ujar Adel sambil terkekeh. Chika langsung ngeliatnya sinis. Dia ngeluarin tangan dan nyubit lengan Adel, tapi Adel sama sekali nggak reaksi, malah dia cuma senyum aja, bikin Chika makin kesal. Adel pegang tangan Chika dan genggam pelan.

"Aku tahu. Setelah Chris kuliah, semuanya makin parah karena dia nggak ada buat ngelindungin aku. Mereka mulai ngeledekin aku pake nama-nama jelek, terus ngebukulin aku mental. Sampai suatu hari, mereka mulai ganggu aku secara fisik. Tapi pas ada guru dateng buat dengerin teriakanku, semuanya udah terlambat. Mereka udah hancurin aku," kata Chika, matanya kayak muter nginget itu.

"Itu udah lama banget sih, jadi sekarang aku baik-baik aja. Tapi dulu rasanya nggak enak banget. Aku ngerasa terjebak di siklus benci sama diri sendiri yang nggak kelar-kelar. Aku ikutan terapi buat atasi kecemasan dan depresi, tapi nggak ada yang bener-bener berhasil," lanjut Chika. Adel ngeliat rahangnya yang mulai tegang, jadi dia angkat tangan dan nyentuh rahangnya, pelan-pelan ngedorong supaya lebih relax.

Cruz x San Jose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang