Bab 3: Minimal Minta Maaf

1.3K 211 76
                                    

Note: Kalian dapet notif story-ku nggak? 😭

Suasana di Bintang agak tegang sejak Renner memberitakan bahwa Clara akan bergabung dengan mereka.

Sebelum ia datang, seluruh anggota Tim Shadow– kecuali Syarla yang masih dalam perjalanan dari bogor–memulai meeting mereka.

“Urusan Clara entar ya. Jelasin keterangannya Mahes dulu.” titah Renner.

“Bal.” Paul mendongakkan kepalanya.

“Jadi, Kopay sama istrinya cerai pas Adhi baru lahir. Dan udah nggak pernah kontak lagi. Mereka ini tinggal di Bogor sementara Kopay di Jakarta. Intinya, Adhi nggak pernah liat bapaknya, ibunya nggak nikah lagi.” jelas Iqbal.

“Minggu lalu, tiba-tiba Kopay muncul di sekolah Adhi. Ngasih alamatnya di Jakarta. Adhi mohon-mohon ke Mahes biar dianter kesana, tanpa sepengetahuan ibunya. Sisanya, ya lo tau sendiri… kita dateng dan seterusnya….” lanjutnya.

“Antek-anteknya Kopay?”

Iqbal membuka laptopnya. Tak sia-sia ia tidak tidur semalaman untuk mengumpulkan semua informasi supaya meeting pagi ini produktif. Ia mulai menjelaskan.

Karena Mahes selalu menaruh curiga kepada ayahnya, ia mengingat seluruh detail mengenai tempat tinggal ayahnya ketika ia datang semalam.

Kopay tinggal bersama empat orang lain. Rumah itu memang tampak seperti sarang penyamun, berantakan tak karuan. Ada tiga kamar yang seluruhnya terisi. Mahes tak sempat masuk ke kamar (pun ia juga ogah), hanya mengobservasi ruang tengah saja.

Menurut Mahes, ‘pertemuan’ ayah dan anak itu terasa canggung. Mereka hanya duduk di ruang tamu, disuguhi teh panas, dan tak banyak bercakap. Ayahnya sibuk dengan kawan-kawannya yang lalu lalang. Ia juga tak banyak bertanya ke Adhi.

Mahes sudah tak bertemu dengan ayahnya sejak umur 5 tahun. Ia cukup waswas karena ibunya selalu mengecamkan untuk tidak mencari ayahnya. Alasannya sederhana, ayahnya bukan orang baik.

Jelas ‘bukan orang baik’ adalah sebuah understatement, mengingat Kopay merupakan penjahat kelas kakap yang berbahaya. Di ingatan Mahes dalam 5 tahun pertama hidupnya, ayahnya memang jarang pulang karena bekerja sebagai supir truk antar provinsi. Tapi entah sebenarnya ia melakukan apa.

“Nah, empat orang di rumah itu, Bang. Yang dua DPO, yang dua lagi pernah dipenjara.” jelas Iqbal lagi.

Iqbal lantas menampilkan temuannya di proyektor. Berkat Mahes, Iqbal dapat mengidentifikasi mereka. Detail nama alias, afiliasi kriminal, tempat tinggal dan lainnya sudah komplit Iqbal kumpulkan.

Herman, Elias, Yoyok, dan Bana.

“Menurut Mahes, waktu mereka ngobrol-ngobrol, mereka ada nyebut kalo rumah Diki udah siap.” lanjutnya.

“Diki tuh bekas temen satu selnya Herman.” sahut Paul sekarang.

"Gue masih nyari alamatnya Si Diki ini, karena alamat terakhirnya udah kosong. Gue minta tolong Polsek setempat tadi." jelas Iqbal.

Renner mengangguk-angguk.

“Gue lagi ngontak orang-orang Manggarai sih, mau liat aktivitas apa yang Diki lakuin setelah keluar penjara.” lanjut Paul. Sebelum pindah, Diki memang menetap di Manggarai.

“Gue juga kontak tim gue deh, mereka biasa ngawasin pergerakan residivis.” ucap Danil.

“Nanti kalo gue udah ada info tambahan mengenai lokasinya Diki, gue share langsung.” ucap Iqbal.

Good job, Bal.” puji Renner. Iqbal mengacungkan jempolnya, puas.

Good job apaan..!” sebuah suara perempuan terdengar ketika pintu ruangan meeting terbuka.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang