Bab 14: Transfusi

1.1K 184 35
                                    

Disclaimer: Fiksi, tidak bermaksud menyudutkan kelompok tertentu. Kalau ada bagian yg salah, sila dikoreksi ya.

Mas Renner 👊🏻🖤
Ca, aku ke Om Dedinya sore ya.
Dia siang ini lagi beli biji kopi ke supplier.

Sabila membaca pesan dari Renner sambil menghela nafas. Entah kapan suaminya itu akan bertemu pamannya, ia cuma berharap Renner akan berhasil membujuk Om Dedi untuk melakukan pemeriksaan.

Siang itu IGD cukup penuh tapi masih terkendali. RS Medika memang sedang ekspansi unit IGD mereka untuk menjadi percontohan dalam penanganan darurat. Banyak dokter emergensi baru yang direkrut dalam setahun terakhir, dan mereka banyak membantu Sabila di PPDS yang ia jalani.

Pintu IGD terbuka, paramedis membawa seorang laki-laki paruh baya dengan perban di sana-sini, "Edwin. 50 tahun. BP 80/60. TA (Traffic Accident), nggak pakai seatbelt. Bentur di kepala, patah kaki, dan remuk di badan." jelas salah satu dari mereka.

Pak Edwin dibawa ke sudut ruangan untuk ditangani. Sabila, Ega, dan Dokter Namira, salah satu spesialis emergensi, memeriksa Pak Edwin.

Ega menangani benturan di kepalanya, Sabila berusaha menstabilkan pasien, dan Dokter Namira mencoba menghentikan pedarahan.

"Parah ya Dok?" tanya Sabila ke seniornya.

Dokter Namira mengangguk, "Bagian perutnya hancur. Kayaknya ada internal bleeding juga. Prep operasi, hubungin dokter anestesi." perintah Dokter Namira. Sabila mengangguk dan segera berlari.

"Ega order CT-nya abis ini aja, siapin kantong darah untuk transfusi. Golongan darah B menurut KTP." lanjut Dokter Namira, Ega pun bergerak cepat.

Sabila kembali berabung dengan mereka dan bersama-sama mendorong Pak Edwin ke ruang operasi. Tapi di tengah perjalanan, seorang ibu paruh baya berteriak, "Itu suami saya...! Jangan dibawa!!"

Dokter Namira menoleh, "Iya ibu, suami ibu harus dioperasi, pendarahannya sangat banyak." sambil terus mendorong bed Pak Edwin.

"Enggak! Jangan operasi! Kami- kami.." istri Pak Edwin terbata, terdengar putus asa, "Kami... Kami anggota Saksi Yehova."

Dokter Namira berhenti, "Jadi?" tanyanya, "Masih boleh operasi, kan?"

Ibu itu mengangguk ragu, "Tapi jangan transfusi darah. Tolong, Dok."

Dokter Namira menjawab, "Kami akan berusaha semaksimal mungkin."

Sementara Sabila dan Ega berpandangan, tak tahu harus bagaimana cara menghadapi situasi ini.

"Mas Pras! Tolong Dokter Bayu ke ruang operasi ya. Secepatnya...!" ujar Dokter Namira ke Mas Pras, kepala suster IGD yang berjaga.

"Kita beneran nggak transfusi, Dok?" tanya Sabila ketika mereka sudah berada di ruang operasi.

"Saya udah nyiapin darahnya." sambung Ega.

"Itu kepercayaan pasien. Kita harus hargai. Fokus dulu nutup internal bleeding-nya ya. Nanti kita pikirin untuk naikin jumlah volume darah." jelas Dokter Namira.

Mereka bertiga fokus untuk menangani Pak Edwin. Ia banyak kehilangan darah akibat benturan keras, akan sulit nanti jika ia membutuhkan darah tambahan. Sekitar sepuluh menit berselang, Dokter Bayu datang ke sisi observasi ruang operasi.

"Dok, jadi istrinya baru tandatangan surat penolakan tindakan untuk transfusi darah. Jadi, kita bener-bener nggak boleh transfusi ya." sahut Dokter Bayu melalui intercom.

Dokter Namira hanya bisa menghela nafas, "Kans-nya nanti akan tipis, Dok."

"Iya, mau bagaimana lagi." jawab Dokter Bayu, "Semaksimal mungkin aja." lanjutnya.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang