Bab 24: Panggilan

952 171 72
                                    

Gambar di ponsel Clara menunjukkan sebuah foto, dimana Siera dan Icha keluar dari gerbang sekolah dan berpamitan pulang ke rumah masing-masing. Foto itu dilingkari merah di dua kepala mereka, tapi wajah Siera disilang tanda X besar. Foto itu disematkan di pintu rumah Icha ketika Siera mau masuk ke dalam.

Artinya, pelaku dapat sangat cepat mengetahui pergerakan Siera.

Clara memperlihatkan foto itu ke seluruh ruangan.

"Aneh, kan?" tanya Ari ke Renner. "Mereka ini kayak dua langkah lebih cepet."

"Iya, tapi gimana caranya? Kecuali supirnya terlibat. Tapi dari hasil gue ngomong sama dia, Pak Bandi ini enggak deh." sahut Renner. Ari mengangguk, "Pak Bandi udah ngabdi 20 tahun. Nganggep Siera kayak anak sendiri juga."

"Ah shit. Masalahnya, gue sama Syarla udah nyisir semua CCTV di tempat-tempat kejadian, tapi nihil." ujar Iqbal. Biasanya penjahat kelas teri sangat mudah ditemukan karena tidak pernah sadar terhadap CCTV traffic cam.

"Kasus ini bau, ya?" tanya Clara.

Paul mengangguk, "Banget."

"Bau?" tanya Sena, giliran ia yang roaming.

"Bau-bau orang dalem." jawab Renner.

"Jadi gimana?" tanya Ari, tak menemukan titik terang dari diskusi mereka.

Clara terdiam lama, tapi akhirnya angkat bicara, "Gue ada ide. Tapi, resikonya besar." usul Clara, matanya tajam menelisik netra-netra para polisi di hadapannya. Ia masih ragu.

"Spill." perintah Renner.

Dan Clara pun memulai penjelasannya.

⏳⏳⏳

Esoknya.

Tim Shadow dan Tim X sepakat untuk memperkuat keamanan Siera, memilih sendiri siapa saja yang cocok untuk membantu ajudan Pak Dewa yang berjumlah dua orang. Kini, Siera dilengkapi dengan GPS live tracking di jam tangannya, mobil tambahan yang selalu membuntutinya, dan ia harus mengirim pesan setiap jam ke Clara ketika sudah pulang sekolah.

Tim Shadow menghabiskan hari dengan mencari jejak dari Acho bersaudara yang disinyalir tinggal di daerah Penjaringan. Meski tak bisa menemukan keberadaan mereka, tapi Tim Shadow memastikan agar pergerakan mereka terdeteksi. Begitu juga Tim X yang menghabiskan hari dengan menyusun rencana mitigasi untuk tim security baru Siera. Hari yang panjang untuk kedua tim, tapi untungnya belum ada tanda-tanda Siera dalam bahaya.

Renner memasuki apartemennya dengan tak sabar. Sabila sudah pulang dari satu jam yang lalu, tapi ia harus meeting dengan Pak Dewa sampai jam 8 malam.

Ketika pintu apartemen terbuka, ia menemukan Sabila sedang bersantai di sofa, menonton TV series kesukaannya setelah mandi dan berganti baju.

"Cacaaa..." sapa Renner sambil tersenyum, langkahnya cepat menuju sofa agar ia bisa duduk di sebelah istrinya. Sabila menyalimi tangan suaminya ketika Renner sampai di sofa, "Mas..."

Renner langsung memeluknya, "Lama banget perginya."

"Idih. Cuma dua hari." sahut Sabila, ia mengelus surai suaminya lembut, "Lagi ribet ya, sama Pak Dewa?" tanyanya.

"He-em." jawab Renner singkat.

"Pantes. Ini rumah kayak nggak ditinggalin. Dapur berantakan. Di kulkas nggak ada makanan. Itu aku udah Go-food makanan." ucap Sabila.

"Boleh nggak, ngomelnya entar?" tanya Renner, ia memegang kepala Sabila sekarang, memaksa Sabila untuk menatapnya. Sabila mengangkat alisnya, heran.

"Mana sini kuperiksa, mata ini kan yang ngeliatin abang berseragam kemarin? Hmm?" Renner lalu menghujani mata Sabila dengan kecupan-kecupan kecil. Sabila memekik, "Aaak! Ampun!"

Sabila lalu memeluk Renner agar ia berhenti menyerangnya, "Maaf, sayang. Bercanda doang. Tenda kita jauh banget kok sama TNI Polri. Mereka juga lebih banyak ke lapangan buat evakuasi. Aku kan di posko aja." jelasnya sekarang.

"Makanya jangan main-main...! Nggak bisa jalan besok, baru tau rasa." ujar Renner.

"Idih...males ngancemnya." Sabila melingkarkan tangan Renner ke badannya, lalu bersandar ke dada suaminya. "Udah gini dulu. Aku mau nonton lagi." sahut Sabila.

Renner mengecup kepala Sabila, berusaha ikut menonton TV, tapi lelah badannya baru terasa sekarang, dan dengan mudah ia terlelap sambil mendekap istrinya.

Perjalanan Renner ke alam mimpi tak berlangsung lama, sebab 30 menit kemudian, ponselnya berdering kencang. Sebuah panggilan dari Pak Dewa.

⏳⏳⏳

Sementara itu, Iqbal juga menghabiskan malam dengan wanita pujaannya. Meski jarak mereka tak sedekat Renner dan Sabila.

"Gimana Poso?" tanya Iqbal.

"Yah, gitu. Naas. Tapi liputannya sih Alhamdulillah lancar." jawab Karina.

Iqbal mengangguk, lalu ia mengerutkan alisnya, dan mengambil sendok yang ia letakkan di depan mulutnya, "Langsung dari Poso, Karina Wijaya, J-News TV, melaporkan!!" ujarnya lantang.

Plak!! Karina langsung menyambar lengan Iqbal, kesal melihat kelakuannya.

"Aduh!! Jangan yang kanan!" Iqbal meringis, memegang lengan kanannya bekas luka tembak.

"Eh, aduh maaf, maaf." Karina mengelusnya lembut.

"Refleks. Abis lo gitu sih. Mana ada gue laporan sambil marah nadanya!" ujarnya kemudian.

"Iyaaa, kan lo marah-marahnya cuma ke gue, kan?" goda Iqbal lagi.

"Orang rese emang perlu dimarahin." jawab Karina. Nasi goreng pesanan mereka terhidang, dan mereka mulai makan.

"Oiya, selain liputan utama, gue juga ada temuan tambahan di Poso. Tapi lagi ngecek data." ucap Karina.

Dengan bersemangat, Karina menceritakan dugaan penyelewengan dana bantuan BPBD oleh pelaksana posko. Termasuk juga dana untuk tim medis. Ia juga sudah bertanya ke Sabila jika ia melihat kejanggalan di penugasannya. Sabila sedang memeriksa laporan logistik medisnya.

Selama Karina bercerita, Iqbal hanya mengangguk-angguk. Pikirannya terbagi ke kasus Siera.

"Bal?" panggil Karina.

"Hm?"

"Mikirin apa sih? Tumben diem." balas Karina. Ia pikir Iqbal akan panjang lebar menasehatinya untuk tidak menelusuri kejanggalan yang ia temukan, tapi Iqbal hanya diam saja.

"Nggak apa-apa. Banyak kerjaan." jawab Iqbal singkat.

"Heeem...Nggak bisa sharing?" tanya Karina. Iqbal mengangguk, kecewa.

"Jangan merengut gitu...jelek tau nggak." lanjut Karina, setengah terkekeh.

Iqbal hanya mengangkat bahunya, tersenyum terpaksa.

"Serius, ya?" telisik Karina, mulai khawatir sekarang.

"Iya serius, kerjaanku nggak ada yang bercanda." jawab Iqbal.

"Bukan gitu, maksudnya, tapi-" kalimat Karina terpotong oleh dering teleponnya. Ia mengangkatnya dan kerutan di dahinya langsung terlihat.

Tak lama, ponsel Iqbal juga ikut berdering. Iqbal tak menunggu lagi, ia langsung beranjak, "Gue dipanggil." ucapnya cepat.

Karina yang telah menyudahi panggilan dari kantornya, menahan tangan Iqbal, "Bukan perkara anaknya Pak Dewa kan?" tanyanya.

Iqbal menyorotinya tajam sekarang, "Kenapa anaknya Pak Dewa?"

Kini alis Karina tambah menukik, "Pak Dewa mau bikin konferensi pers. Anaknya diculik. Gue disuruh ke Polda sekarang."

Iqbal hanya bisa menatap Karina nanar.

"Lo nggak bisa ngasih tahu. Oke. Yaudah. Ati-ati. Lengannya masih sakit kan." kalimat Karina tak terputus.

Mereka sama-sama berjalan keluar restoran sekarang menuju parkiran. Iqbal akhirnya tak tahan untuk tak menarik Karina ke rangkulannua. Ia merangkulnya dari samping, "Doain, ya." sahutnya pelan.

"Selalu." balas Karina sambil mempererat rangkulan itu.

Lalu, mereka pergi ke arah yang berbeda.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang