“Bawa gue ke Medika, plis.” sahut Renner dengan suara parau. Tangannya memegang luka di perut yang dibantu tekan oleh Danil dan Syarla. Meski sudah dibebat seadanya, mereka tak ingin Renner kehilangan banyak darah.
“Itu lebih jauh, Bang!!” seru Iqbal dari kursi kemudi.
“Iya, Ren. Depan udah RSPAD ini.” sahut Paul di sebelahnya.
Sementara Syarla menahan tangis melihat abangnya terluka, meski kelihatannya tidak parah, tapi ia tahu Renner butuh pertolongan pertama secepatnya, “Bang..”
“Kalo gua mati nggak liat Sabila dulu, gue datengin kalian tiap hari..!” ujarnya setengah kesal. Ia memang tak akan mati hari ini, tapi muak mendengar anggota timnya yang tak mengindahkan keinginannya.
“Iya Bang, iya, Medika.” Iqbal lalu tancap gas membelah jalanan ibu kota di pekat malam.
⏳⏳⏳
Sore tadi, kuping Renner panas. Teriakan istrinya di telepon masih menggaung bahkan ke ruangannya di Polda.
Renner tahu, situasinya tidak ideal. Tapi, bukan salahnya kan kalau Alfa minta bertemu malam ini kan? Lagi, ia harus membatalkan makan malam bersama istrinya.
“Mas, kapan sih kamu ada waktu buat kita?!” nada Sabila meninggi.
Renner tak terima, “Ca, aku tuh udah usahain… selama ini aku juga yang selalu ke Medika. Emang pernah, kamu ke Polda buat makan sama aku?”
“Loh ya, shift-ku lebih panjang, dan nggak bisa ditinggal. Yang bisa pergi-pergi kan kamu, Mas!” seru Sabila di ujung telepon.
“Ini aku dapet leads akhirnya. Mau ketemu pelaku. Tolong dong, Ca. Ngertiin dikit.” ucap Renner.
“Aku kurang ngerti apa? Kamu batalin makan malem last minute melulu. Kamu yang nggak ngertiin aku! Kayaknya kasus Siera nggak lebih sibuk dari ini. Kenapa sih? Karena ini kasusnya Anggi?” tanya Sabila. Kalimat terakhir memang tak ia pikirkan dengan matang, tapi ia sudah sangat emosi.
“Ca…! Jangan nuduh ya. Kasus Siera tuh JAUH lebih sibuk dari ini. Aku nggak pulang ke rumah dua hari, kan kamu tau. Tapi nggak ada tuh, kamu protes? Kenapa? Ya soalnya kamu sibuk juga di Poso.” kali ini Renner membalas tajam. Ia bisa sabar dengan semua omelan Sabila, tapi tuduhan tak berdasar, ia tak tahan.
Sabila terdiam, sebab Renner benar. Akhir-akhir ini IGD memang cukup lengang, tak banyak pasien. Maka dari itu ia juga punya waktu luang untuk menyelidiki Bu Heni dengan Karina.
“Ya tapi tetep aja kamu nggak bisa makan malem bareng di Medika kan, nanti?!” tanya Sabila. Ia kehabisan argumen.
Meski kesal setengah mati, tapi Renner hanya menghembuskan nafasnya, “Iya, ya mau gimana…”
Sabila hanya menggerutu lalu menutup percakapan mereka.
Paul yang mendengar sebagian dari percakapan itu menepuk pundak sahabatnya, “Sabar yah. Mending kita ke Bintang sekarang.”
Renner mengangguk, merapihkan barang-barangnya lalu melangkah keluar Polda bersama Paul.
⏳⏳⏳
Rencana pertemuan dengan Alfa memang baru terjadi siang tadi ketika Alfa akhirnya membalas pesan Renner. Sore ini, Tim Shadow bersiap untuk menjadi backup untuk Renner. Pertemuan pertama ini hanya untuk menggali informasi saja.
Seharusnya, berjalan tanpa hambatan.
Pukul sepuluh malam, setelah meeting dan briefing di Bintang, Renner duduk di sebuah bar di bilangan Blok M yang baru buka. Tim Shadow bersiap di van, mendengarkan segala percakapan Renner. Paul jadi satu-satunya anggota yang ada di bar tersebut. Mengawasi dari jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
AksiSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣