Bab 25: Let's Go

951 168 67
                                    

“Malam ini pukul 20.30 ketika saya pulang ke rumah bersama istri saya, putri saya sudah tidak ada. Padahal ia pulang diantar supir dari jam 5 sore. ART rumah bilang bahwa Siera tidak mau makan malam ketika ditawari jam 19. Lalu ia ada di kamar terus.” jelas Pak Dewa di depan kamera TV.

“Sesampai rumah, saya dan istri memeriksa kamarnya. Jendela kamarnya terbuka, dan ada jejak keluar. Tapi tidak ada pesan apapun. Tak ada juga telepon meminta tebusan.” lanjutnya lagi.

“Saya harap dengan sangat…siapapun yang menahan Siera… Tolong kembalikan dia…” kalimat Pak Dewa akhirnya bergetar. Ia berkaca-kaca tapi masih menahannya, ingin tetap berwibawa meski hatinya hancur.

“Pertanyaan langsung ke Humas, ya. Sekian, selamat malam.” tutupnya.

Karina memegang mic-nya kuat, meski terdorong kanan-kiri, ia ikut dalam keriuhan para wartawan yang bertanya ke Kadiv Humas.

“Kira-kira siapa dalangnya Pak?”
“Langkah pertama polisi saat ini apa Pak?”
“Apa ada tipline untuk masyarakat kalau ada yang melihat Siera?”
“Siapa yang bertanggung jawab untuk menemukan Siera?”

Setelah mendapatkan jawaban dari Humas, para wartawan membubarkan diri. Karina, sengaja masih tinggal, mencari sosok yang tadi ia peluk. Tapi nihil. Bahkan Renner pun tak terlihat batang hidungnya.

Atau, penugasan Iqbal bukan ini? Batin Karina.

⏳⏳⏳

Tim Shadow dan Tim X sudah berkumpul di ruang tengah rumah dinas Pak Dewa. Mereka juga memanggil tim security Siera dan para ajudan Pak Dewa untuk membantu. Tak lama, Pak Dewa memasuki ruangan.

Pak Dewa tak berbicara apapun, ia hanya melipat tangan dan bersandar pada tembok. Seluruh tim security–yang sejatinya terdiri dari tiga polisi Reskrim–menunduk, dua ajudan Pak Dewa juga menatap ke bawah, begitu juga anggota Tim X dan Tim Shadow.

“Kok belom mulai?” tanya Pak Dewa.

Ari dan Renner saling pandang, mereka tak tahu apa yang diinginkan Pak Dewa sekarang.

Sit-rep. Masing-masing tim. Ren, kamu mulai.” ujar Pak Dewa.

Renner duduk dengan tegak sekarang, sebenarnya, tak banyak yang ia bisa laporkan. “Jam 20.30 intel lapangan ngeliat Acho bersaudara di kontrakan mereka di Penjaringan. Jam 20.45 Double D juga kelihatan lagi beredar di Cawang. Jam 20.52 Norman baru aja ditangkep di Polres karena ketahuan dealing.”

Pak Dewa mengerutkan dahinya, “Jadi, bukan mereka semua? Bukan juga Acho?”

Renner terdiam, hanya menggeleng pelan, “Bukan, Pak.”

Ia lalu menoleh ke Ari, “Kamu, Ari.”

Ari menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Berdasarkan kesaksian si Mbok dan warga sekitar… Jam 19.00 Siera masih di kamar, diketok dia masih jawab nggak mau makan. Jam 19.40, si Mbok ngetok lagi, nggak dijawab, jadi dia pikir Siera tidur. Jam 20.15 ada warga yang laporin mobil Avanza hitam cukup ngebut di jalan kompleks.”

“Kamu, Fer.” sahutnya ke Ferdi, kepala tim security Siera. Ia sudah mengucurkan keringat dingin.

“Jam 19 kami standby di depan rumah. Jam 19.30 kami muter keliling, nggak ada yang mencurigakan. Jam 20 kami lihat Avanza hitam itu lewat depan rumah memang. Lalu kami muter lagi ke belakang, tapi nggak ada apa-apa, Pak. Jam 20.30 bapak ibu pulang.” Ferdi melaporkan dengan terbata.

Pak Dewa hanya menghembuskan nafasnya kasar, jelas menahan amarah terhadap Ferdi, sebab seharusnya setiap 15 menit mereka memeriksa sekeliling rumah.

“Jadi, waktu kejadiannya antara jam 19.30 dan jam 20?” tanya Pak Dewa.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang