Bab 44: Curiga

1K 197 95
                                    

Tak butuh waktu lama untuk Iqbal memasang segala jenis layar komputer dan elektronik di kamar Om Dedi. Apalagi dibantu dengan TV besar yang memang sudah tersedia di kamar. Kini, pojok ruang tamu kamar Om Dedi sudah menjadi kantor Tim Shadow sementara.

Om Dedi sangat senang karena kamarnya kini ramai. Meski Tim Shadow berada di bilik ruangan yang terpisah, tapi suasana kamarnya tak lagi terasa seperti rumah sakit.

Renner sedang menjelaskan kasus terbaru mereka ke seluruh anggota timnya ketika Sabila masuk ke ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Renner sedang menjelaskan kasus terbaru mereka ke seluruh anggota timnya ketika Sabila masuk ke ruangan. Ia otomatis menoleh ke kanan, menangkap keramaian. Netranya terbelalak melihat apa yang mereka telah lakukan.

“Astaghfirullahaladzim…!” ucap Sabila, “Mas Renner!!”

Renner terkaget sedikit mendengar teriakan istrinya. Tapi ia tampak sudah siap. “Bentar ya.” sahutnya ke timnya lalu ia melangkah ke bilik ruangan yang berisi tempat tidur pasien.

“Kamu ngapain sih…? Ini rumah sakit, bukan kantor…!” omel Sabila ketika suaminya itu sudah mendekat.

Renner melirik ke Om Dedi, meminta dukungan, sang paman mengangguk.

“Iya, Ca…ada kasus penting banget. Kantornya Pak Binsar dijebol. Jadi ini termasuk prioritas negara. Timku disuruh bantu usut. Nah berhubung kamu mau aku ada disini juga, yaudah kan aku gabungin aja. Kerja sambil jaga keluarga. Win-win deh. Ya kan Om?” jelas Renner panjang lebar. Kalimat Renner sangat yakin, seperti sudah dipersiapkan sebelumnya.

Om Dedi mengangguk lagi, “Inget yang Om omongin ke kamu sebelumnya, Sabila.”

Sabila mengerucutkan bibirnya. Bimbang. Setengah kesal karena seharusnya kamar Om Dedi tenang agar omnya bisa istirahat total. Tapi di sisi lain, ia harus menghargai usaha Renner yang berusaha hadir untuknya meski keadaan sedang genting.

“Yaudah…tapi Om Dedi nggak boleh ikutan ya. Pintu gesernya ditutup kalo kalian meeting. Dan maksimal jam 10 harus gelap. Om Dedi butuh tidur.” jelas Sabila.

“Yes…makasih sayang.” ujar Renner, merangkul istrinya dari samping dan mengecup pipinya.

Om Dedi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan dua ponakannya itu.

“Yaudah, aku ngecek sebelah dulu. Terus pulang, besok pagi aku kesini lagi ya Om.” pamit Sabila, membawa tangan pamannya ke keningnya.

Renner mengantar Sabila sampai ambang pintu, kemudian bertanya, “Ngecek sebelah tuh, si Rian Rian itu ya?”

Sabila mengangkat alisnya, “Iya. Rian.”

“Banyak ya, pasien kamu.”

“Nggak usah cemburu. Aku juga ngecek ayahnya Iqbal kok abis itu.” tambah Sabila, tahu isi otak Renner.

“Iyaa, iyaa.” sahut Renner. Tapi entah mengapa, ia tak bisa menghilangkan rasa curiganya.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang