TW: Violence. Fiksi. Baca dengan bijak.
Renner pulang ke apartemennya sedikit sebelum jam setengah satu. Ia memang tak kemana-mana dan tak bilang siapa-siapa, sebab ia tahu Sabila pasti akan menelpon seluruh teman-temannya. Setelah melihat kejadian tak mengenakkan di Medika, Renner pulang ke apartemen, mengambil kunci motornya, lalu berkendara tanpa tujuan. Ia pikir, angin malam dan pemandangan kota akan sedikit menenangkannya.
Tapi justru ketika melihat istrinya berdiri di dapur, menatapnya khawatir campur kesal, perasaan tak enak itu mendatanginya lagi. Otak Renner berisi tayangan ulang yang dimainkan lambat: Sabila, direngkuh orang lain. Dadanya mendadak sesak.
"Mas...? Kamu dari mana aja? Kok nggak ngabarin? Aku dari tadi nungguin...! Kutelpon Paul, Danil, Iqbal-"
"Hmmmph!"
Kata-kata Sabila terpotong oleh tekanan bibir Renner. Tanpa berpikir, Renner mengikis jarak keduanya, gerak badannya didorong intuisi dan bukan akal sehat. Awalnya Sabila merespon kecupan itu, tapi ciuman Renner berubah kasar. Sabila berusaha menyudahinya, tapi Renner justru menahan tengkuk belakangnya.
"Mas- udhhh-" kata-kata Sabila tak terlalu jelas karena Renner masih mencumbunya.
Sabila mendorong tubuh Renner sekuat tenaga, ketika Renner sedikit mundur, tangannya kembali ingin merengkuh Sabila.
"Ren!!" bentak Sabila. Refleks, tangan Sabila juga ikut melayang ke pipi Renner. Tidak keras, tapi tidak pelan juga.
Renner baru sadar apa yang ia lakukan. Ia menatap netra istrinya yang sekarang penuh amarah dan kekecewaan. "Ca..maaf.." lirihnya sambil mengelus bibir Sabila yang ia gigit paksa tadi.
"Jangan pegang..!" Sabila kembali membentaknya, menghempas tangan Renner dan bergegas memasuki kamar tidur mereka.
Brakkk!!! Sabila membanting pintu kamar dari dalam dan menguncinya. Tak kuasa, air matanya telah banjir bahkan sebelum ia sampai tempat tidur.
Ah, tolol lu Ren!!! umpat Renner dalam hati. Namun fisiknya tak dapat berkompromi. Kepalan tangannya melayang ke tembok tanpa bisa dikontrol. Dinding di sebelah dapur itu bergeming, tapi tangan Renner berubah merah.
Setelah mencuci muka dan menenangkan diri, Renner menghampiri kamar tidurnya, mengetuknya perlahan.
"Ca...maaf banget, ya. Aku nggak tau aku kenapa." sahutnya di depan pintu.
Tak ada jawaban.
"Sayang maafin aku...buka pintunya dulu bentar. Plis..." lirih Renner.
Masih tak ada jawaban.
"Caca, aku tau aku salah. Plis aku mau minta maaf langsung sama kamu.."
Kini ombak penyesalan baru menghantam Renner. Bisa dibilang ini kesalahan terbesar pertamanya. Dan mungkin juga pertengkaran terbesar mereka.
"Ca...kan janji kita, masalah apapun nggak boleh dibawa tidur...maafin aku Ca..."
Sabila masih tak menjawab. Baru kali ini ia benar-benar sakit hati dengan suaminya itu. Selama ini, Renner tak pernah sekalipun berbuat kasar terhadapnya, dan sebaliknya. Untuk Sabila, pertengkaran fisik adalah opsi terakhir dalam kisruh rumah tangga. Dan kali ini, ia bahkan tak tahu masalah mereka sebenarnya apa, tapi pertengkarannya sudah meledak sedemikian besar.
Di bawah selimut tebalnya, Sabila menangis sesunggukan. Ia tak ingin Renner mendengar betapa rapuhnya dirinya kali ini. Semua wajah orang-orang terdekatnya terbayang di benak Sabila: Ayah, Ibu, Nabila, Novia, Anna, Ega... apa ia kuat menceritakan pertengkaran ini ke salah satu di antara mereka? Apa ia tega terhadap Renner? Apa sebaiknya ia selesaikan sendiri dulu? Tapi, melihat wajah Renner saja sekarang ia tak sudi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
AksiSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣