Bab 27: Pengkhianat

957 171 61
                                    

Siera benar-benar tidak ada di apartemen 501. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membawa Acho bersaudara ke Polda untuk diinterogasi, sementara tim Polres setempat melakukan pencarian di sekitar apartemen. Meski hasilnya masih nihil sampai sekarang.

“Clar, ayo.” Iqbal mengajak Clara untuk ikut ke Polda, karena memang Clara dan Pak Bobby harus hadir saat interogasi, untuk bernegosiasi.

Clara turun dari motor dinas Iqbal dengan susah payah. Walaupun ia mengenakan pant-suit blazer, tapi tetap saja pakaiannya tak didesain untuk naik motor trail.

“Jangan manja cepet turun.”

“Bacot deh, Bal. Yang lain juga belom sampe.” keluh Clara.

Mereka berdua menaiki tangga masuk ke Polda, ketika itu, mereka bertemu dengan Karina yang masih menunggu dari tadi. Menunggu berita, bukan menunggu Iqbal. Beberapa wartawan juga masih stand by di sekitar Polda.

“E-eh, Kar.” sapa Iqbal yang langkahnya terhenti di tengah tangga. Banyak hal yang ia ingin tanyakan tapi saatnya tak tepat.

“Bal?? Ada update ya??” tanya Karina, berdiri dari duduknya di ujung tangga, menghampiri Iqbal.

Clara melirik Iqbal tajam.

“Sorry, Kar.” hanya itu yang bisa Iqbal ucapkan sambil mengelus lengan Karina, ia lalu berbalik sebelum Clara meneriakinya. Karina hanya bisa menatap kecewa.

Ketika sudah sampai di dalam, Iqbal berkata, “Gue nggak ngomong apa-apa ke dia. Sumpah.”

“I know. Keliatan dari matanya. Khawatir banget sama lo. Biarpun sok nanya update.” balas Clara, tersenyum miring.

“Ah, ribet...! Lo sendiri, udah siap belom? Bang Renner bilang ETA mereka 10 menit.” ucap Iqbal sambil berjalan di koridor, menuju ruang interogasi.

“Siap, lah. Lagian Pak Bobby juga ad-” Clara memotong ucapannya sendiri karena melihat sosok yang tak ia duga.

“Ay- Pak Binsar?? Ngapain Pak??” tanya Clara kepada ayahnya yang sedang celingukan di koridor Polda.

“Ya ini interogasi terpentingnya Pak Dewa, masa saya nggak dateng.” jawabnya, tak mau kalah formal dengan anaknya.

“Oh jadi kalo Siera penting, kalo Clara eng-”

“Syut. Malam, Pak. Saya Iqbal, timnya Bang Renner. Mari langsung aja Pak, ruang interogasinya yang ini yang biasa kita pake.” Iqbal mendorong Clara ke samping lalu mengulurkan tangannya, menunjukkan arah ke Pak Binsar.

Pak Binsar mengangguk dan mengikuti mereka.

⏳⏳⏳

Meski ruangan di sebelah cermin satu arah itu ramai dengan atasan-atasannya—Pak Bobby, Pak Binsar, juga Pak Dewa—Clara sama sekali tidak gugup. Ia malah bersemangat. Di ruang interogasi, ia, Renner dan Danil sudah siap menggali informasi dari Acho bersaudara.

“Nggak pake lama. Siera dimana?” tanya Renner to the point.

“Sumpah kita nggak tahu, Bang…!! Kan kita udah bilang berkali-kali.” jawab Saleh. Renner menggeleng, tanda tak puas.

“Terus lu ngapain disitu?? Piknik? Hah?” tanya Danil kali ini.

“I-itu…” Solih kali ini bersuara terbata.

“Solihun Acho. 33 tahun. 3x dipenjara. 2x pencurian. 1x penculikan. Total semua 10 tahun, remisi total 4 tahun. Betul?” tanya Clara sekarang.

“I-iya Mbak.” jawab Solih.

“Salehun Acho. 32 tahun. Rekam kriminal sama. Betul?”

Saleh pun mengangguk.

“Kalian tuh nyulik anak Kapolri, polisi sama kejaksaan ngga mungkin lembek. Kalo Siera masih hidup dapet 25 tahun. Kalo Siera—enggak- hm- langsung hukuman mati. Tau, kan?” tanya Clara lagi. Ia tak ingin membayangkan sosok adiknya itu meninggal.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang