Bab 23: Koordinasi

904 145 31
                                    

"Ini Om Renner, ini Om Ari. Masih inget nggak?" tanya Clara pada Siera. Remaja SMA itu menggeleng. Wajar saja, banyak anggota Pak Dewa yang ia temui baik di kantor maupun di rumah. Dan Renner serta Ari bukan termasuk pengunjung tetap yang sering datang ke ruangan atau rumah Pak Dewa.

Siera sebenarnya bukan gadis yang penakut. Dibekali bela diri silat dari kecil, ia tumbuh jadi remaja yang pemberani. Siera juga cerdas dan banyak akal. Ia bahkan tahu ancaman-ancaman itu sudah cukup serius untuknya sekarang.

Menurut Siera, tak ada yang aneh dari sekitarnya. Seluruh pesan ancaman terkesan mendadak, dan entah datang dari mana.

"Kayak tiba-tiba aja ada, gitu, Om. Kemarin yang perkara tikus mati itu, Siera padahal mendadak mampir mall bentar buat beli hadiah ultah temen. Pak supir aku suruh ikut masuk mall buat bantuin bawa kadonya. Eh pas kita balik ke mobil, udah ada itu tikus?! Kan aneh..." sahutnya.

Renner dan Ari sama-sama mencatat. Mereka merasa ada yang janggal dari cerita Siera, tapi belum tahu apa tepatnya. Sementara, mereka mendengarkan dengan seksama.

"Yang nggak pernah itu di sekolah, sama di rumah. Itu aja. Lainnya, pasti ada aja." ucap Siera lagi.

Clara menatap sosok adiknya itu, "Kalo ada apa-apa kabarin Kakak ya."

"Idih idih. Masa kita Om, lu kakak?" protes Renner.

"Loh? Ya orang gue seumur sama Abangnya Siera yang di Australia. Dia Kak Aldi, ya berarti gue Kak Clara." bela Clara.

"Ya, kalo gitu kita Kak Ari sama Kak Renner, ya kan." sambung Ari. Siera tergelak mendengar perdebatan itu, "Iya deh, bukan Om. Abang aja ya." sahutnya.

"Nah, cocok!" ucap Renner sambil memberikan fist bump-nya, sementara Clara hanya memutar bola matanya melihat kelakuan kekanak-kanakan dari dua team leader ini.

⏳⏳⏳

Esok sorenya, mereka berkumpul kembali di rumah dinas Pak Dewa untuk rapat koordinasi. Memberikan update terkini dari masing-masing tim.

"Pak Dewa ngasih tiga nama yang kemungkinan capable buat ngelakuin ini. Indra, mafia sawit Sumatera. Jon, pengusaha tambang emas yang baru aja ketangkep. Sama Anton, ketua geng Sembilan Naga." jelas Renner.

"Serius? Cuma tiga?" tanya Clara. Renner mengangguk.

"Gue yakin lebih banyak sih, tapi kalo menurut Pak Dewa cuma tiga, yaudah." balas Clara. "Tambahin Pak Pratikno juga." lanjutnya lagi.

"Pratikno? Kader partai?" kini Ari yang mempertanyakan.

"Ya...biar lengkap aja. Ayah sama Pak Dewa kan baru nangkep anaknya perkara korupsi. Motifnya gede banget menurut gue." jawab Clara.

"Anjing. Susah banget mau jadi orang jujur ya." timpal Iqbal. Clara hanya mengangkat bahu, "Masih mending nggak dicopot sama presiden."

"Biarpun dalangnya belum tahu, tapi lebih penting kita cari eksekutornya." Danil angkat bicara sekarang, "Hari ini, Syarla sama Iqbal udah analisa keterangannya Siera dan gue sama Paul udah ngumpulin intel lapangan juga."

"Yang paling mungkin buat jadi gun-for-hire ini menurut kita, itu Double D. Mereka baru aja keluar dari penjara enam bulan yang lalu. Masih nggak kedengeran peredarannya."

"Bentar." potong Clara.

"Double D bukannya pembunuh?" tanya Clara.

"Iya. Kenapa?" tanya Paul.

Kini Clara menggelengkan kepalanya, "Then, it's a no. Mereka nggak bakal bunuh Siera. Gue bisa jamin."

"Yakin banget?" Iqbal mengangkat alisnya.

"Ini rule number one. Lo nyulik anaknya Kapolri, pasti pengen sesuatu, dong. Buat apa Siera mati? Worthless nanti negosiasinya. Next suspect." balas Clara.

"Tap-" Iqbal mau mendebat, tapi Renner menghentikannya, "Bang Ari dulu deh. Nanti kalo metodenya udah ada gambaran, baru kita kasih nama yang probable. Ada beberapa kok, Clar."

Tim Shadow memang punya lima kemungkinan pelaku. Kebanyakan residivis, atau buronnya Reskrim.

Sena dan Rio, membuka beberapa gulungan kertas yang berupa denah dan peta.

"Paling gampang nyulik orang, itu pas lagi mobile. Gerak dari satu tempat ke tempat lain. Supirnya Siera ini kan supir biasa, gampang dilumpuhin. Kemungkinannya pas lagi en route pulang sekolah. Karena kalo ke sekolah, gampang banget ketahuan. Siera ini ada les ballet hari Senin, les silat hari Rabu, sama berenang hari Jumat. Sabtu-Minggu dia mau ke rumah temennya." jelas Sena sambil menunjukkan peta-petanya dan titik-titik berbahaya.

"Atau ya, ambil dari kamarnya. Malem. Lingkungan yang sangat terkontrol." tambah Rio, kini membuka gulungan kedua.

"Rumah??" tanya Syarla.

"Iya, rumah pribadi Pak Dewa ya, yang di Cipete." jawab Ari.

Rio menjelaskan bagaimana pelaku, atau para pelaku, bisa memasuki kamar Siera lewat jendela yang terletak di lantai dasar. Biarpun jendelanya dikunci, tapi dengan alat sederhana, mereka bisa masuk. Sedikit klorofom untuk membuat Siera teler, jendela yang menghadap kebun belakang itu sangat empuk untuk disasar. Hanya perlu memanjat tembok pemisah, dan pelaku langsung bisa kabur ke jalan.

"Kayak gini gampang??" tanya Clara.

Rio mengerutkan dahinya, "Ya, gampang. Tembok belakang setelah kebun itu emang tinggi, tapi nggak ada kawat atau semacamnya. Butuh gesit doang."

"Bawa Sieranya gimana?" tanyanya lagi. Ia merasa jadi satu-satunya orang awam kali ini.

"Diiket, gendong. Beres. One-man-show juga bisa ini. Tapi paling aman berdua." jawab Sena.

Ari kini menoleh ke sebrang meja, "Jadi, Ren? Satu atau dua orang, physically fit, otak encer. Ada?"

Renner dan Danil saling berpandangan, ada dua nama yang dari kemarin mereka diskusikan.

"Acho bersaudara." jawab Renner.

"Mereka emang cuma pernah kena kasus penculikan sekali. Sisanya pencurian. Tapi mereka rapih banget. Nggak pernah ninggalin jejak. Dan kalo menurut Clara, profilnya harus yang sedikit soft, ya mereka ini cocok." jelas Danil sekarang.

"Dan mereka lagi dikejar Reskrim perkara pencurian perhiasan Tiffany & Co di pameran bulan lalu. Tapi ya itu, nggak ada bukti." tambah Paul.

"Yaudah, berarti kita tinggal jelasin ini ke Pak Dewa kan? Dan briefing tim security tambahannya dia?" tanya Ari.

Mereka semua mengangguk setuju. Tapi, ting!! Sebuah pesan masuk ke ponsel Clara.

Clara membukanya, dari Siera.

Siera Dewantara
Kak!! Plis, masa sekarang temenku Icha ikut diteror???
Aku nggak ada rencana ke rumah dia, tapi buku catetan aku kebawa dia.
Jadi aku td ke rumah dia dulu sebelum pulang ke rumah.
Photo sent.

Clara terkesiap melihat gambar tersebut.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang