Beberapa hari setelahnya.
Entah mengapa, Tim Shadow kali ini dipanggil ke rumah dinas Pak Dewa yang terletak hanya beberapa kilometer saja dari kantor Polda. Mereka kini telah berkumpul di ruang tengah rumah itu, tanpa tahu apa sebabnya.
"Ada apa ya? Kok gue deg-degan? Kita nggak mau dibubarin, kan?" tanya Iqbal.
"Buset tuh mulut disekolahin sekali-kali, Bal." ujar Paul dari ujung sofa.
Renner menggelengkan kepalanya, "Nggak sih, kalo dibubarin nggak mendadak kayak gini. Gue rasa ada misi sangat penting."
Tim Shadow memang tiba lima belas menit lebih awal dari waktu yang seharusnya. Kebiasaan yang Renner tanamkan agar mereka tidak terlambat, terlebih waktu Pak Dewa sangat berharga.
"Oh iya, denger-denger Kak Sabila mau ke Poso?" tanya Syarla ke Renner. Iqbal menoleh, ingin menyimak.
Renner hanya mendengus, "Iya. Nanti malem berangkat."
"Kok bete gitu?" tanya Danil sekarang.
"Sebenernya gue nggak ijinin. Tapi..."
"Tapi kamu tuh lagi mimpin rumah tangga, bukan mimpin Tim Shadow, Mas." ujar Renner menirukan suara Sabila tadi pagi.
Perdebatan kecil mereka berawal dari Sabila yang meminta ijin untuk pergi bersama tim emergensi lainnya untuk membantu korban gempa di Poso. Beberapa dokter emergensi di Medika memang diberi kesempatan oleh DinKes untuk membantu posko darurat gempa yang dibangun kemarin siang, imbas dari gempa 6 SR pagi kemarin. Renner, dengan segala kekhawatirannya, dengan tegas melarang, tapi Sabila menawar.
"Yang kamu khawatirin, apa ya? Disana kan posko, bareng-bareng sama TNI dan Polri setempat juga. Udah jelas aman. Kasihan Mas, mereka kehilangan rumah, makanan susah, tenaga medis juga kurang." sanggah sang istri.
"Ya bener juga sih, kan disana bareng-bareng pasti timnya. Dan nggak ada gempa susulan. Itung-itung kayak lo ditugasin ke luar kota." sahut Danil.
Renner memutar bola matanya. Ia tak punya argumen lain. Ia hanya tak ingin Sabila di luar kota. Itu saja sebenarnya. "Gue nggak punya bahan debat. Akhirnya gue pake kartu kepala rumah tangga, eh dia bawa-bawa jadi leader Tim Shadow. Skak, lah, gue. Mau nggak mau, gue ijinin."
Syarla terkekeh, "Lagian abang manja sih. Sekali-kali rasain nggak ada Kak Sabila di rumah. Jangan egois."
Renner hanya mengangkat bahunya, "Enak aja, egois. Gue udah jadi pengunjung tetap Medika ya, demi untuk nyesuaiin jadwal PPDS-nya dia."
"Masih mending, bang. Lu bisa debat soalnya istri sendiri. Lah gua? Cuma dapet FYI doang." timpal Iqbal sekarang. Semuanya menoleh ke arah Iqbal.
"Maksudnya? Karina ke Poso?" tanya Danil. Iqbal mengangguk, "Udah berangkat tadi pagi. Liputan. Kagak ijin, cuma ngasih tahu doang." yang lain jadi tertawa.
"Makanya, minimal pacarin..!" ledek Paul kali ini.
"Ya, otw ini Bang. Jual mahal anaknya." balas Iqbal.
"Nggak apa-apa otw jadian, daripada Paul, otw putus." sambung Danil.
Paul mengacungkan jari tengahnya ke Danil, "Bangsat, lu." Danil hanya tersenyum meringis.
"Loh, Bang Paul kenapa? Nggak tahan LDR ya?" tanya Syarla. Memang sudah enam bulan, Nabila pindah kerja ke Singapura. Kini ia bekerja di sebuah majalah fashion terbesar di Asia Tenggara. Kesempatan yang tak bisa ia buang begitu saja.
"Bukan LDR-nya sih. Dia lumayan sering pulang juga. Tapi gitulah, nggak tega gue sama dia." sahut Paul.
"Nggak tega gimana, Bang?" tanya Iqbal. Ia merasa perlu banyak belajar dari senior-seniornya perkara ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
AksiSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣