"Awalnya saya tidak terlalu anggap penting. Tapi lama-lama teror dan ancamannya makin sering dan spesifik. Seperti, kami diawasi terus.” sambung Pak Dewa. Ia lalu membagikan foto-foto ancaman yang mereka terima. Bentuknya beragam. Ada kertas yang ditulisi tulisan berdarah, foto close-up Siera, pesan singkat, tikus mati di tempat duduk Siera di mobil, dan lain-lain. Semua berpesan untuk ‘jaga Siera baik-baik’.
“Supir dan pembantu nggak pernah melihat apapun yang mencurigakan. Begitu juga ajudan-ajudan saya.” lanjutnya.
Pak Dewa lalu menoleh ke Ari, “Ari, saya minta Tim X untuk lakukan threat assessment, ya. Kalau kalian jadi tim penculik, kapan kalian akan menyerang? Dan dengan cara apa? Baru kita nanti bikin rencana mitigasinya.”
Ari mengangguk, “Kalau gitu, saya perlu seluruh jadwal kegiatan Siera, juga Bapak dan Ibu. Semakin detail semakin baik, Pak.”
“Ajudan saya sudah siapkan. Nanti dia kirimkan ke kamu. Kalau kalian butuh ngomong sama supir dan pembantu saya di rumah, juga bisa.” ucap Pak Dewa.
“Dan Siera sendiri?” tanya Ari. Pak Dewa langsung menggeleng, “Nggak perlu. Jadwal dan aktivitas Siera semua saya tahu. Juga dia selalu diantar supir.”
Ari baru mau membantah, tapi Pak Dewa sudah bicara lagi, “Renner, saya mau Tim Shadow cari siapa pelaku ancaman-ancaman ini. Ini bukti fisiknya. Forensik sudah cek, tapi, benar-benar nggak berjejak. Mereka profesional.” sahut Pak Dewa sambil memberi sebuah amplop besar yang berisi barang bukti.
Renner mengangguk, “Kita juga perlu histori, Pak. Kalau Bang Ari butuh jadwal ke depan, saya dan tim butuh ke belakang. Supaya bisa cross-reference sama bukti-bukti ini.”
“Iya, saya siap diwawancara kalau kalian butuh.” ucap Pak Dewa.
“Hm, ya, bukan Bapak aja.” ucap Renner, ia menggaruk dagunya yang tak gatal.
Pak Dewa mengangkat alisnya, “Maksudnya mau ngomong sama Siera langsung? Enggak. Saya hafal semua jadwal dia. Atau bisa bicara sama istri saya.” tegasnya.
“Tapi, Pak-”
“Kamu bikin analisa awalnya aja dulu, kalau ada yang kurang, nanti saya pikirkan untuk bicara sama Siera.” final Pak Dewa.
“Dan Clara…” akhirnya Pak Dewa menoleh ke perempuan berambut panjang yang sedari tadi hanya memperhatikan percakapan antar polisi ini.
“Om minta tolong untuk bantu mereka, ya?” tanya Pak Dewa, nadanya setengah memohon, setengah memerintah. Tapi baru kali ini Renner mendengar atasannya itu membahasakan dirinya dengan ‘Om’ untuk Clara. Padahal sudah berkali-kali mereka kerja bersama.
Clara menghela nafasnya, “Ya, pasti saya mau bantu, Pak. Tapi Bapak juga harus jujur ke mereka. Siapa yang Bapak bikin kesel akhir-akhir ini? Jelas kan ini bukan ancaman biasa.” ucapnya tajam. Clara sudah biasa beradu mulut dengan Pak Dewa, tapi tak pernah setajam ini.
“Nggak ada. Nggak ada musuh baru. Semua ya, kasus-kasus yang di luar sana. Gembong narkoba, mafia senjata, gitu-gitu aja.” jawabnya.
“Politik?”
“Kerjaan saya selalu menuai pro-kontra politik, Clara. Kan kamu tahu.”
Clara tak puas dengan jawaban itu, menghembuskan nafasnya kasar, “Om mau tahu pendapat saya?” Pak Dewa mengangguk.
Clara lalu berdiri, bersandar di meja meeting, dan melipat tangannya, “Satu. Om kasih ke Renner nama-nama yang Om pikir paling berpotensi ngelakuin ini. Saya yakin Om pasti tahu kira-kiranya siapa, meski pasti mereka hire orang buat ngelakuin ini. Dua. Om harus ngasih tahu Siera kalau ini ancaman beneran. Dan biar Bang Ari sama Renner wawancara Siera. Bisa jadi, ada kegiatan dia yang Om nggak tahu, kan?” jelas Clara tanpa jeda. Ia berusaha menahan amarahnya, yang entah datang darimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
AksiSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣