Bab 2: Bertentangan

1.4K 196 54
                                    

Renner memasuki pintu apartemennya dengan gontai. Ia tahu istrinya sudah pulang sejak tiga jam lalu, tapi ia tak bisa langsung menyusulnya karena masih harus lembur di Bintang. Laporan ke Pak Dewa barusan terasa seperti sidang skripsi, berlangsung alot dengan adu argumen yang panjang. Terlebih lagi karena mereka belum menemukan ibu kandung dari Adhi dan Mahes. Saat ini, Adhi masih koma di ICU, sedangkan Mahes sudah pindah ke ruang rawat inap sejak jam 12 dini hari tadi.

Ia perlahan masuk ke kamar tidurnya, mengintip Sabila yang tengah melipat mukena, waktu memang sudah menunjukkan pukul 4:30.

"Mas...? Kirain nggak pulang hari ini." ucap Sabila ketika menemukan Renner di ujung pintu. Terkadang Renner memang terpaksa menghabiskan malam di Bintang jika ada kasus berat yang belum terselesaikan.

"Nggak, lah. Kamu kan lagi dapet pulang. Masa aku nggak pulang." ucap Renner.

Sedangkan Sabila, sejak PPDS, sering menginap di kamar jaga. Shift-nya tak jarang yang 24 jam hingga 36 jam.

"Dan lagi, aku udah atur biar anak-anak dapet istirahat gantian." lanjutnya lagi.

Sabila mengangguk, dan tak berkata apa-apa lagi. Ia tahu suaminya mungkin mengalami hari yang berat. Ia juga melihat baju Renner dipenuhi bercak darah, yang ia duga berasal dari Mahes atau Adhi. Tapi, ia masih tak habis pikir dengan perilaku Renner di Rumah Sakit. Bisa-bisanya suaminya itu membantahnya di ruang IGD tadi malam.

Namun di tengah pergulatan pikirannya, Sabila masih berusaha menjadi partner yang baik, "Kacau banget ya, Ren?" tanyanya.

Renner mengangguk pelan, "Abis dimarahin Pak Dewa sejam. Dan kalo sampe Adhi meninggal, meskipun bukan salah kita...tapi-" Renner memotong kalimatnya sendiri, "Intinya kalo geng viper ini nggak ditangkep dalam seminggu ke depan, kita abis."

Sabila hanya mengelus punggung Renner yang masih membereskan barang-barangnya. Ia berusaha berempati.

Jadi, masih belum ada permintaan maaf? Batin Sabila.

Renner lalu mengganti bajunya dan bersiap istirahat, sementara Sabila sudah kembali naik ke tempat tidur tanpa menunggu suaminya terlebih dahulu. Ia langsung terlelap. Renner pun menyusul ke alam bawah sadar tak lama setelah itu, badannya baru terasa sangat letih ketika menyentuh empuknya kasur.

⏳⏳⏳

Sebelum jam tujuh pagi, mereka sudah terjaga lagi. Renner hendak bersiap menuju Bintang, kembali ke pekerjaannya. Di saat seperti ini, tidur Renner tak akan pernah bisa lebih lama dari tiga jam. Pikirannya melayang kemana-mana. Jadi percuma juga jika ia memaksa tidur lebih lama.

Sementara Sabila juga sudah bersiap untuk menjalani harinya.

Ting!! Ponsel Renner berbunyi tanda menerima pesan. Grup WhatsApp Tim Shadow.

Paul Fernando
Udah dapet keterangan dari Mahes.
Kumpul di Bintang sekarang.

Danil Jose
Canggih bos. Berangkat.

Paul Fernando
Adik kita canggih memang @Iqbal
Abang bangga

Renner Angkasa
Keren lu Bal
@Syarla masih di Bogor?

Syarla Marsha
Masih tapi udh otw Bang.
Baru ketemu nih sm ibunya.
Gak tega 😭

Ada kelegaan sedikit di dada Renner, meski leads mereka yang lain belum ada. Tapi setidaknya, mereka bisa berangkat dari keterangan Mahes. Dan juga, ibu dari kedua anak itu sudah dalam perjalanan ke Rumah Sakit, Syarla mencarinya semalam suntuk. Ia juga bisa dimintai keterangan.

Tak lama, dering ponsel Sabila yang kali ini memecah ketenangan pagi itu.

Caller ID.
Suster Ayu.

Renner hanya bisa menangkap setengah pembicaraan tersebut, tapi ia tahu bahwa ia dalam masalah.

"Gimana, mbak?"
"Hah, gimana...?"
"Polisi yang mana?"

Netra Sabila otomatis mengarah ke Renner, menghujamnya dengan kesal yang teramat. Ia berdecak pinggang, tangan satunya masih merapatkan ponsel ke telinganya.

"Ya ampun...lain kali panggil satpam aja ya, mbak."
"Iya, hari ini harusnya komnas anak dihubungi. Saya juga udah kasih tau Dokter Ferry kok."
"Oke, makasih."

Sabila memutus sambungan telepon itu, terdiam sejenak dan memejamkan mata, seperti mengumpulkan tenaga.

"Ren, kamu tuh ya...! Bisa-bisanya nyuruh Iqbal buat ngambil keterangan dari Mahes. Nggak bisa banget nunggu sampe walinya dateng?! Kan udah kubilang, JANGAN. Kamu bisa nggak sih, hargain pasienku??" Nada Sabila tinggi, meski sering mengomel, tak pernah Renner melihat Sabila mengamuk seperti ini.

"Tapi, Ca...ini udah urgent banget keadaannya. Semaleman kita nyari leads nggak dapet. Geng Viper ini diduga ngerekrut geng-geng remaja buat jadi mole narkoba. Bahaya pokoknya..." Renner mencoba menjelaskan.

"Ya, menurut kamu, ngomong sama korban penembakan yang baru aja stabil tuh nggak bahaya?? Kalo dia trauma, gimana? Ibunya aja belom ketemu dia, Ren. Ini bisa-bisanya Iqbal yang ketemu dia duluan...! Mana masuk kamar nggak pake ijin suster lagi, untung dia nggak kenapa. Kalo dia shock terus dia coding, gimana? Pikir dong!!" kalimat Sabila berentet tanpa jeda. Nadanya juga tak kalah tinggi dengan yang sebelumnya.

Sementara, Renner menatap istrinya itu datar. Amarah Sabila terasa begitu samar. Pikiran Renner sudah melayang ke strategi apa yang harus ia ambil selanjutnya. Masa krusial untuk mencari Kopay adalah dalam kurun waktu 24 jam. Jika mereka mendapat fresh leads dari Mahes, maka harus langsung dikejar, sebelum terlanjur basi.

Sabila yang melihat suaminya tak bereaksi, menyambar ponselnya dan menekan tombol-tombol. Lalu ia bergerak ke arah balkon agar Renner tak mendengar pembicaraannya.

Renner cukup bingung, tapi ia lanjut mengemas ranselnya dan segera bersiap menuju Bintang.

Lalu...Ting!! Sebuah pesan masuk ke ponsel Renner.

Clara Nasution
Ren kan udah gua bilang jangan berulah!
KUMPULIN TIM LO, GUA OTW BINTANG.

Kekesalan Clara lewat ketikannya bisa Renner rasakan di layar ponselnya. Sejurus kemudian, Sabila masuk kembali dari balkon sembari mengantongi ponselnya. Melihat itu, Renner jadi menyadari sesuatu.

"Ca..? Kamu yang nelfon Clara, ya? Kok kamu tega sih?!" telisiknya.

"Tega, kamu bilang, Mas...?! Kamu yang tega interview anak di bawah umur, korban penembakan, tanpa didampingi wali sama sekali??" amarah Sabila kembali lagi. Kali ini, ia benar-benar gagal paham dengan suaminya itu.

Ponsel Renner yang ia letakkan di atas meja berdering. Panggilan masuk kali ini.

Caller ID.
Pak Dewa.

Ah, bangsat...! Batin Renner.

Tidak pernah sekalipun Renner menolak panggilan dari Pak Dewa, atasannya yang seorang Kapolri, pemegang tahta tertinggi di kepolisian. Tapi biarlah ini jadi yang pertama. Dengan segala keberanian, Renner pun menekan tombol merah di ponselnya, ia berniat menelponnya kembali ketika dalam perjalanan nanti.

Memperhatikan hal ini, Sabila hanya terdiam.

"Ca, posisi aku tuh udah kejepit banget, tau?! Hhhh." Renner menghembuskan napasnya. Emosinya berkecamuk tapi ia tidak ingin melontarkan kata yang nanti ia akan sesali.

Jadi Renner memilih untuk cepat pergi, "Aku berangkat dulu, sayang." ucap Renner sambil tergesa mengangkat ransel dan menghampiri istrinya, lalu mengecup keningnya.

Salah satu perjanjian di awal pernikahan mereka adalah untuk pamit ke luar rumah dengan baik-baik. Sebab tak ada yang tahu apakah Renner akan kembali hadir di pintu itu dengan selamat.

"Iya...Mas. Ati-ati." balas Sabila, meski dengan berat hati.

Ketika pintu tertutup sempurna, Sabila bergumam, "Minimal minta maaf, nggak sih."

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang