Bab 5: Permohonan Mahes

1.2K 220 37
                                    

Hari sudah akan berganti malam. Selama berjam-jam Tim Shadow bekerja untuk mengumpulkan informasi baru mengenai Diki ataupun Kopay. Renner bahkan sudah mengunjungi kembali tempat tinggal Kopay kemarin. Setelah diteliti kembali, Kopay tidak tinggal di sana, melainkan keempat orang lainnya. Tak ada juga barang bukti berharga yang mereka tinggalkan.

Frustasi. Itulah mood di Bintang saat ini.

DRRT!! Ponsel Renner bergetar.

Caller ID.
Bang Gio - Kanit Buser III.

“Ada, Bang?”
“Sendirian…?”

Bang Gio menemukan Diki di sebuah kontrakan, tapi ia hanya seorang diri. Timnya belum masuk menyerbu, ingin mengkonfirmasi dahulu langkah berikutnya dari Renner. Renner berpikir keras, melihat ke wajah-wajah anggota timnya yang terlihat menggebu.

“Yaudah bungkus aja Bang.”
“Iya, nggak usah nunggu kita kalo dia cuma sendirian, mah.”
“Oke, kabarin ya. Makasih.”

Renner menutup panggilan itu.

“Diki ketemu, tapi sendirian doang. Gue minta Bang Gio buat bawa dia ke Polda. Seenggaknya, kita bisa interogasi dia.” sahut Renner.

Otomatis mereka semua mengemas barang-barang dan bersiap menuju kantor.

“Gue udah kirim file Diki ke HP lo, Bang.” sahut Syarla.

“Siapa yang mau interogasi?” tanya Danil sekarang.

Renner menimbang, “Gue sama Paul, aja kali ya? Kalo gagal, baru lo masuk, Nil.” Danil pun mengangguk.

“Eh- gue sempet nggak ya, mampir Medika dulu?” tanya Renner ketika mereka di parkiran.

“Sempet, Bang. Diki diproses dulu pasti, paperwork blablabla, baru entar masuk ruang interogasi.” jawab Iqbal.

“Prioritasin istri.” tambahnya lagi, yang diiringi dengan geplakan Renner ke belakang kepalanya, “Sok iye!”

Iqbal tersenyum meringis. Padahal memang itu yang Renner butuh dengar saat ini.

“Gue bentar doang, kok. Nanti gue langsung ke kantor.” sahutnya.

⏳⏳⏳

Sabila telah duduk manis menunggu suaminya di kantin rumah sakit. Ia juga sudah inisiatif memesankan Renner makanan–tahu bahwa suaminya hanya punya sedikit waktu untuk di luangkan, mengingat Kopay masih di luar sana. Wajah lelah suaminya terlihat kuyu ketika ia berjalan di koridor rumah sakit, tapi ketika netranya bertemu dengan sorot mata Sabila, senyumnya merekah. Seakan ketegangan tadi pagi perkara Mahes tak pernah terjadi.

Ketika Renner mendekat, Sabila menjulurkan tangannya yang disambut oleh tangan Renner, ia membawa tangan suaminya ke dahinya. Lalu Renner mengusap pucuk kepalanya lembut.

“Sayang, maaf ya…buat tadi pagi, dan kemarin malem, aku lagi pusing banget.” ucap Renner tanpa aba-aba, setelah mengambil duduk di depan Sabila.

“Iyaaa…dimaafin. Jangan diulang tapi.” balas Sabila, menatap tajam netra Renner di seberangnya.

“Di kantor kamu boleh jadi kapten, di rumah sakit ya, kaptennya aku sama dokter-dokter lain.” lanjutnya lagi.

“Siap, Bu Dokter!” ujar Renner.

“Yaudah makan yuk, aku mesti ke Polda abis ini. Tim Buser nangkep salah satu anteknya Kopay. Yang menurut Paul, salah satu petinggi. Nggak kayak yang kemarin-kemarin kita tangkep, kroco-kroco doang.” jelas Renner sambil mengambil sendok garpu untuk Sabila.

Sabila mengangguk dan kedua pasutri itu memulai santap malam mereka sambil bercakap. Beginilah rutin mereka, Renner selalu menyempatkan untuk makan siang atau malam bersama istrinya meski itu hanya di kantin rumah sakit, di sela-sela shift Sabila atau di jeda waktu pekerjaan Renner. Kehidupan PPDS Sabila memang sangat berat dan melelahkan. Tak jarang Sabila mengeluh capek sampai hampir menangis, di luar kerja praktek, Sabila juga dibebani banyak tugas kuliah dan publikasi paper. Jadi Renner selalu berusaha ada untuk istrinya itu.

“Hmm.. Kopay belum ada tanda-tanda ya?” tanya Sabila. Renner menggeleng.

“Pusing ah, mikirin kasus. Kamu gimana, hari ini? Banyak pasien?” tanya Renner, mengganti topik.

“Lumayan…hari ini ada korban kecelakaan. Itu doang yang bikin pusing. Sisanya kayak biasa.” jawab Sabila.

“Oh iya, Adhi sama Mahes gimana?” tanya Renner.

“Adhi masih di ICU, tapi keadaannya membaik. Semoga besok bisa pindah ke ruangan biasa. Mahes juga udah baikan. Semua scan-nya normal, jadi besok pagi udah boleh pulang. Biarpun dia kayaknya nggak mau pulang sih kalo adeknya di sini.” jelas Sabila.

Seperti merasa terpanggil, Mahes tiba-tiba muncul dari belakang mereka.

“Om Renner.” panggilnya.

Renner dan Sabila pun menoleh, “Loh…Mahes, kamu kok nggak istirahat?” tanya Sabila.

“Hm…tadi Mama bilang ngelihat Om Renner di lobi. Jadi aku nyari kesini. Suster Ayu bilang Om Renner suaminya dokter Sabila, yang lagi break makan malem.” jawab Mahes, ia membawa tiang infusnya sampai kantin.

Raut Renner berubah khawatir, “Kenapa, Mahes…?”

“Cuma mau ngasih ini, Om.” sahutnya sambil memberi sebuah ponsel, “Kata Om Iqbal, kalo saya ada kepikiran sesuatu, saya bisa kasih tau Om Iqbal atau Om Renner.” lanjutnya lagi.

“Ini handphonenya siapa?” tanya Renner.

“Handphonenya Om Herman yang saya berhasil ambil kemarin. Lupa, ada di kantong celana ternyata.” jawab Mahes.

Renner teringat pergumulan yang terjadi kemarin malam. Mahes memang sempat menahan Herman supaya bisa tertangkap, sebelum akhirnya ditendang dan dihempaskan ke tembok. Lalu dari sisi lain, Yoyok melepaskan tembakannya. Mungkin di tengah pergulatan tersebut, ia sempat mengambil handphone Herman.

Renner mengangguk, “Makasih ya Mahes. Kamu berani banget, good boy.” sahutnya sambil menawarkan fist bump.

Mahes menyambut tangan itu lalu menatap Renner tajam, “Om, tolong, tangkep bapak, ya. Soalnya…kalo bukan karena saya- Adhi- ah- pokoknya bapak harus dihukum seberat-beratnya. Mati sekalian kalo perlu.” ucapnya terbata, suaranya bergetar penuh emosi, tapi permohonannya sangat jelas.

Sabila mengelus pundaknya, “Inget ini bukan salah Mahes ya…Om Renner bakal nangkep ayah kamu, kamu tenang aja ya.”

“Dan Adhi InsyaAllah akan membaik. Kamu berdoa yang banyak dan jagain Mama, ya.” tambah Renner.

Sebenarnya, Renner tak kuat melihat Mahes, entah bagaimana Iqbal bisa bercakap dengannya—karena Renner setengah mati menahan tangis dan emosinya sekarang. Sebagai anak 16 tahun, Mahes sangat tenang menghadapi ini semua biarpun matanya terlihat merah dan sembab. Dibesarkan tanpa ayah, dan lalu berusaha mengabulkan keinginan adiknya, tapi malah berujung naas. Sangat jelas bahwa ia menyalahkan dirinya sendiri atas keadaan Adhi. Sesuatu yang Renner lakukan juga ketika Om Heru—ayah Syarla sekaligus sosok ayahnya—pergi.

Mahes mengangguk lalu pamit untuk kembali ke kamar.

Sepeninggalan Mahes, Renner menoleh ke istrinya, "Ca lain kali jangan janjiin kalo aku bakal nangkep pelaku...kalo aku gagal gimana?"

Sabila mengerutkan dahinya, "Ya...aku cuma berusaha nenangin Mahes. Lagian kamu sendiri pake janjiin Adhi bakal membaik? Apa bedanya coba?"

Renner tersenyum masam, "Kan kubilang insyaAllah, Ca..."

"Hih, pake ngeles...!" balas Sabila sambil mencubit kecil lengan suaminya.

"Aduh, Ca!!" ujar Renner, "Udahlah daripada aku disiksa mending aku berangkat."

Sabila mencibirnya, "Iya sana. Aku juga mesti balik jaga."

"Kamu jaga malem kan? Aku kayaknya nginep di kantor." tanya Renner. Sabila mengangguk.

"Iya. Ada baju ganti kan di mobil? Jangan lupa minum magnesium sama vitamin, Ren." ucap Sabila, ia sengaja tak menyinggung perkara tidur Renner yang kurang, karena ia pun demikian.

"Iyaaa, Sabila. Renner pergi dulu ya." ucap Renner setengah meledek, sambil kemudian berdiri dan mengecup kening istrinya.

"Ishhh... Iya, iya, ati-ati deh, MAS Renner." ujar Sabila.

Selama setahun menikah, Sabila masih sering keseleo menyebut nama suaminya itu. Meski Renner tak pernah protes, tapi Sabila tahu panggilan khusus untuk Renner itu cukup penting untuk suaminya, mengingat Sabila hampir tak pernah mengumbar kata sayang ataupun kata romantis lainnya.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang