Bab 15: Sial

1.1K 169 54
                                    

Sabila dan Anna segera berlari dan membantu para dokter muda yang berjaga di ICU. Semua alarm di monitor Pak Edwin berbunyi. Tekanan darahnya anjlok drastis, hanya tersisa 50/30, sementara detak jantungnya tidak terdeteksi. 

"Dok, dia henti jantung!" seru Anna yang sejak datang sudah sigap memberikan CPR. 

Sabila segera mengambil alih situasi, meraih defibrilator. "Siap, stop CPR!" teriaknya, lalu menempatkan pad defibrilator di dada Pak Edwin. Seketika, sengatan listrik 200 joule menghentak tubuh Pak Edwin, namun tidak ada respons. Garis hijau di monitor hitam masih datar.

“1 miligram Epi!” perintah Sabila ke dokter muda yang di sebelahnya, dengan cepat ia menuruti Sabila, mengambil suntikan epinefrin dan menyuntikkannya. 

Sekali lagi, defibrilator ditempatkan, dan kali ini sengatan kedua diikuti oleh lonjakan detak jantung di monitor.

Dari garis lurus, ritme sinus muncul perlahan, membawa kembali BPM (beat per minute) pasien ke angka 90. Napasnya mulai kembali teratur, sementara tekanan darah perlahan meningkat menjadi 80/50. 

"Kita berhasil, Dok," ucap Anna sambil menarik napas lega, memastikan pasien stabil setelah hampir kehilangan segalanya.

“Iya, kali ini..” lirih Sabila. 

⏳⏳⏳

Paul dan Renner tiba di Polrestabes Surabaya jam setengah sepuluh kurang sedikit. Sepanjang perjalanan, Paul tak tenang. Emosinya berkecamuk, ingin segera berhadapan dengan siapapun yang berani menculik Pak Beno. 

Suasana Polrestabes sangat kacau. Semua anggota wara-wiri sibuk, telepon tak berhenti berdering, dan teriakan sana-sini bertukar informasi.

Akhirnya, Wakapolres menyambut mereka. 

“Renner, Paul, kesini.” sahutnya sambil mengajak mereka ke sebuah ruang meeting kecil. 

“Ndan.” sapa Renner dan Paul, tak lupa memberi salam hormat. 

“Udah, nanti aja formal-formalnya.” balas Pak Panji. “Sebentar lagi, Kapolda datang. Jujur saya belum ada leads yang benar-benar kuat. Semua penyidik sudah saya kerahkan untuk ambil forensik, intel lapangan, cek data ponsel, semuanya.” 

“Terlalu banyak, ya Pak?” tanya Renner. Pak Panji mengangguk. 

“Kalian tahulah, Pak Beno itu. Semua kasus diusut. Musuh, udah pasti banyak. Tapi yang mana? Itu yang masih saya bingung.” sahutnya. 

Paul menggaruk kepalanya, “Gimana kita bisa bantu, Pak? Saya rasa kalo masalah lapangan dan histori kasus Pak Beno, udah pasti temen-temen Surabaya lebih tahu.” 

Pak Panji mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan sudah tahu apa yang harus Renner dan Paul lakukan. 

“Kalian bisa ambil angle personal? Istri dan anak-anaknya ada di ruangan sebelah.” jawab Pak Panji, setengah ragu, tapi ia tak punya pilihan lain. 

Ah, sialan. Kenapa arahnya mesti kesitu, sih. Batin Paul. 

Bicara dengan keluarga korban adalah tugas yang Paul paling hindari. Apalagi, kali ini, ia harus bicara dengan istri Pak Beno. Seseorang yang ia kenal juga. 

“Oke, Pak. Baiknya, kita eksplor yang temen-temen belom sentuh aja. Tapi kalau ada leads kuat lain, kita tolong dikabarin juga ya.” ucap Renner.

“Iya, Ren. Kabari juga temuan kalian ya. Saya harus ngadep Pak Kapolda dulu.” balasnya. 

⏳⏳⏳

Sabila menimbang-nimbang beberapa opsi yang ada di otaknya. Tapi akhirnya, ia tak tahan juga. Ia bangkit lalu mencari sebuah wajah yang dari tadi berseliweran di pikirannya. 

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang