Brak!!
Pintu IGD RS Medika terbuka lebar setelah sirene ambulans mereda. Paramedis mendorong tandu medis, membawa seorang anak berumur sekitar sepuluh tahun yang sudah tak sadarkan diri masuk ke ruang IGD. Pakaian yang dikenakan anak itu berwarna merah. Bukan dari warna kaosnya, tapi darah segar yang membanjiri pakaiannya, meski paramedis sudah berusaha membebat perutnya dengan perban.
Semenit kemudian, ambulans kedua datang. Tim paramedis kedua mengeluarkan tandu medis yang berisi sang kakak. Tubuhnya pun berlumuran darah, bedanya ia mengerang kesakitan dan berusaha bangkit untuk mencari sang adik.
"Pak, adik saya mana Pak...!" serunya.
Dengan segera, tim paramedis memindahkan mereka ke brankar milik Medika untuk segera ditindaklanjuti.
"Adhi, 11 tahun. BP 70/55. Dua GSW (Gun-Shot Wound) di perut. Patah tulang rusuk dan pendarahan internal. Golongan darah A, menurut kakaknya. Segera operasi, Dok, peluru masih di dalam." jelas si paramedis ke Dokter Bayu. Dokter Bayu mengangguk kemudian memerintahkan Ega dan para suster untuk membantunya. Mereka langsung lari ke ruang operasi.
"Mahes, 16 tahun. BP 140/110. Satu GSW lewat di bahu. Beberapa luka lebam di tangan dan badan. Golongan darah A." paramedis satunya menjelaskan ke Sabila sambil mereka bergerak bersama ke sudut IGD untuk penanganan.
"GSW?? Berarti nanti kontak polis-" ucapan Sabila terpotong oleh derap-derap kaki yang kini membanjiri IGD.
"Ca, kita perlu ngomong sama Mahes..!" ujar Renner setengah berlari menyusul tim IGD Sabila. Di belakangnya, Iqbal dan Danil mengikuti.
Sabila setengah terkejut menemukan suaminya disana, terlebih mau mengintervensi pengobatan pasiennya. Ia mengerutkan alisnya, "Pasien harus pertolongan pertama dulu. Mas bisa tunggu di sana." sahutnya sambil menutup tirai.
Tapi sebelum tirai brankar tertutup sempurna, Renner menahan tangannya, "Ca, dia saksi kunci. Anaknya bos geng narkoba. Tolong, aku harus ambil keterangan sekarang."
"Bukan, Bang...! Dok, adik saya gimana?!" sahut Mahes dari dalam tirai, suaranya parau akibat menahan sakit.
Sabila menatap suaminya tajam, jelas kesal karena pekerjaannya diganggu, "Apapun itu, bisa nunggu."
"Tap-"
"Lepas, atau aku panggil sekuriti?" potong Sabila seraya menunjukkan tangannya yang masih dicengkeram Renner.
Renner sedikit tersentak, namun lantas melepaskan tangan Sabila dengan berat hati. Sabila lalu menutup tirai itu dengan kencang, tanda Renner tak boleh mengganggu. Tak ada pilihan, Renner pun melangkah gontai ke ruang tunggu dimana Iqbal dan Danil duduk.
"Sabar, Ren." sahut Danil.
"Ah, shit..." gerutu Renner sambil menggosokkan kepalanya. Hari ini, mereka gagal. Apes. Sial. Pokoknya, semua yang buruk terjadi di hari ini.
Iqbal memberinya botol air mineral dan tisu, lalu bersama-sama, mereka membersihkan bekas-bekas darah yang menempel di tangan dan baju mereka bertiga.
⏳⏳⏳
IGD RS Medika cukup sepi. Malam itu hanya ada beberapa brankar terisi, sehingga semua kegiatan IGD dapat Renner observasi dari jauh. Tiba-tiba, suster-suster berlalu lalang dengan langkah cepat. Dokter Anna yang tadinya stand by, bolak-balik ke depan ruang operasi di mana Adhi berada. Tak lama setelahnya, Pras, kepala suster di IGD berlari membawa kantung-kantung darah.
"Kayaknya unlikely ya..." lirih Iqbal melihat pergerakan mereka.
Danil tak bersuara, hanya membenamkan kepalanya ke kedua tangannya. Menunggu dengan resah.
Renner menghembuskan nafasnya, lalu berdiri, kembali menghampiri brankar Sabila.
Di saat yang bersamaan, Sabila baru saja selesai menstabilkan Mahes. Ia keluar dari area brankar dan kembali menutup tirai di belakangnya.
"Ca, udah kan? Aku mesti ambil keterangan Mahes sekarang." ujar Renner.
"Enggak, ya..! Mahes baru aja stabil dan teler karena pain killer yang aku kasih. Pelurunya nyerempet bahunya, tapi itu tetep luka trauma. Lima jahitan dan lukanya cukup dalam." jelas Sabila, berusaha menghalangi Renner yang hendak berjalan masuk ke brankar Mahes.
"Tapi, Ca. Aku mesti tau siapa-siapa aja yang terlibat. Tadi mereka di sana, dan bapaknya langsung kabur!" jelas Renner lagi, ia tetap ingin menerobos masuk ke tirai brankar.
"Mas Renner, stop! Mas nggak bisa ya, ganggu pasien di sini. Dia bakal dipindahin ke rawat inap, nanti kalo dia udah sadar dan lebih baik, baru Mas bisa ketemu." kalimat Sabila tak berjeda, nadanya kesal.
"Ca, kamu tuh nggak ngerti, ini soal keamanan negara!!" ucap Renner, yang juga tak kalah kesal.
Sudah dua bulan terakhir Tim Shadow dibuat pusing oleh ulah Geng Viper, sebuah geng narkoba terorganisir di Jakarta. Banyak yang sudah ditangkap, tapi geng ini tetap beroperasi. Bagaikan mati satu tumbuh seribu. Sehingga ketika salah satu ketua geng tersebut muncul dari peredaran tadi malam, Tim Shadow langsung mengambil kesempatan.
Yang mereka tidak prediksi di misi penangkapan malam ini yang berlokasi di kediaman Koko alias Kopay, adalah kehadiran dua anak Kopay di dalam rumah. Terkejut dengan keberadaan mereka berdua, Tim Shadow otomatis tidak jadi mempergunakan senjata api dan menyerbu Kopay dengan tangan kosong.
Mereka tidak tahu bahwa orang-orang Kopay juga berada di dalam rumah, sudah siap dengan senjata api mereka. Tak ayal, baku tembak pun langsung pecah. Beruntung tak ada satu pun peluru yang melukai Tim Shadow karena mereka gesit mencari perlindungan. Mahes dan Adhi, sementara, terluka parah. Kopay dan orang-orangnya berhasil lolos ketika Tim Shadow sibuk memberi pertolongan kepada kedua anak tersebut sampai ambulans datang.
Yang membuat Renner geram, adalah misi ini terasa seperti jebakan. Dari riset yang mereka lakukan, Kopay tak punya istri, apalagi anak. Namun dari interaksi singkat antara ketiganya, tampak bahwa mereka adalah ayah dan anak, meski hubungannya terlihat tak baik. Mahes jelas marah ketika melihat polisi masuk. Terlebih lagi ketika lima orang yang ada di dalam rumah mengeluarkan senjata api. Ketika tembak-menembak terjadi dan justru mengenai Adhi, Mahes berteriak kencang sambil menangis. Ia menghampiri adiknya itu dan tertembak juga dalam prosesnya.
Tak hanya Kopay dan kawan-kawan lolos, Tim Shadow juga berhasil membuat dua anak tak bersalah menjadi korban dalam misi kali ini.
Karenanya mereka sedang sial. Benar-benar sial.
Paul dan Syarla segera kembali ke Bintang untuk mencari jejak Kopay dan kawan-kawan. Sementara Renner, Iqbal, dan Danil berusaha mencari informasi dari Mahes atau Adhi, yang mereka pikir akan tahu siapa kolega-kolega ayahnya. Pasti tidak sekali-dua kali mereka bersarang di kediaman Kopay di bilangan Jakarta Barat itu.
Sabila mengerutkan alisnya, wajahnya merah menahan amarah, "Pak Renner mungkin lupa, tapi kita nih lagi di RUMAH SAKIT. Jadi ini bukan soal negara, tapi soal nyawa dan kebaikan pasien saya." tajam Sabila. Ia lalu bergegas menuju station IGD di tengah ruangan.
Renner pun menyerah, baru kali ini ia mendengar istrinya memanggilnya dengan sebutan 'Pak Renner'. Sudah pasti ia menginjak zona terlarang di ranah pekerjaan Sabila. Renner pasrah, dan melihat tubuh istrinya dari belakang, mengikutinya tapi tak berani mengejar.
Kemudian Sabila memutar badannya dan berbalik sebentar, "Dan tolong, bawa wali Mahes kalo emang mau ngomong sama dia. Mahes masih di bawah umur, jadi Bapak nggak berhak ngomong sama dia tanpa ijin walinya." ucapnya lagi.
Renner mengangguk pelan, menatap Sabila nanar.
Untuk pertama kalinya, Renner benar-benar merasa dunianya bertabrakan dengan dunia Sabila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
ActionSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣