Bab 33: Pasang Surut

1K 188 87
                                    

Renner memijat kepalanya yang pening. Hari baru saja dimulai, tapi ia telah sukses membuat istrinya marah.

Bukan ia mau mencari gara-gara, pasalnya pekerjaan Renner sedang menggunung. Karena kasus Bu Tami belum naik jadi kasus penyidikan, Renner masih harus tetap menjalani kewajibannya di Satreskrim. Pekerjaannya jadi dobel, pagi menuju siang ia di Polda, sore ke malam ia di Bintang. Kasusnya juga tidak kunjung mendapatkan leads, membuat Renner tambah tertekan.

Ia membiarkan Sabila menyendiri beberapa saat, sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar dan membukanya. Sesuai dugaan, Sabila sudah terbaring di ranjang, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

“Ca..” Renner mendudukkan diri di tepi tempat tidur lalu mengusap punggung istrinya dari luar selimut. “Maaf, ya.”

“Hm.” Sabila membalas pendek.

“Kasus Bu Tami tuh belom kebuka karena belum ada hasil otopsi. Bukti lainnya belum konkret. TKPnya cukup bersih.” jelas Renner. Ia tahu Sabila mungkin tak peduli terhadap perkembangan kasusnya, tapi otak Renner memang hanya terisi hal-hal teknis seperti itu.

Sabila tak menjawab, masih memunggunginya.

“Aku usahain, eh- nggak- nanti malem aku pulang, kita makan malem bareng baru abis itu aku ke Bintang lagi. Ya?” tanya Renner.

“Terserah.” jawab Sabila, kesal.

“Aku nggak bisa pulang makan siang, ada meeting sama Pak Jeffry. Kasus di Reskrim juga sama mentoknya.” jelas Renner lagi. Menyesali bahwa di hari libur Sabila ia harus full di kantor.

“Kan kubilang terserah. Mau pulang kek, mau enggak kek. Terserah.” balas Sabila ketus, ia makin menutup tubuhnya dengan selimut.

“Sayang, jangan gitu dong..aku mau berangkat nih.” ucap Renner.

Satu hal yang Sabila tak bisa elakkan. Ia lalu mendudukkan dirinya, mengambil tangan suaminya, lalu ia letakkan di dahi, “Ati-ati.” ucapnya pendek, setengah tidak ikhlas.

Renner akhirnya melihat wajah istrinya dengan sempurna tanpa tertutup selimut. Sabila menghindari netranya dan ekspresinya kesal setengah mati, tapi ia masih mau mengambil tangannya. Renner lalu mengecup kening Sabila, “Kamu istirahat ya, di rumah. Sampe nanti malem.”

Setelah Renner beranjak, kembali Sabila membaringkan diri dan memunggunginya.

Renner baru mau membuka pintu kamarnya menuju luar, tapi netranya tertuju pada tumpukan kertas di meja sebelah pintu.

Isinya, print out angka-angka dan data laporan keuangan RSIA. Renner meneliti lebih lanjut, print out tersebut dari sebuah email, karina.wijaya@gmail.com.

“Ca, kamu lagi ngapain ya, sama Karina?” tanyanya dari ambang pintu. Nadanya penuh curiga.

Sabila tak menjawab. Ia masih kesal.

“Nggak usahlah urusan sama Karina. Ya?” ucap Renner.

“Kalo jarang hadir, nggak usah ngatur.” balas Sabila. Renner menghembuskan nafasnya kasar.

“Yaudah, samlekum.” ucap Renner sambil menutup pintu.

“Walaikumsalam.”

⏳⏳⏳

Semalam, nasib Iqbal juga tak kalah malang dari Renner. Karena terlambat bergerak sedikit, Karina sudah terlanjur pergi. Iqbal pikir Karina pulang, tapi ia tak menemukan Karina di rumahnya. Malah Andin sedikit kaget karena Karina pamit untuk makan malam bersama Iqbal.

Ia melangkah gontai, tak tahu harus kemana. Ponsel Karina mati sehingga tak bisa dihubungi.

“Gue tau dia dimana.” sahut sebuah suara.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang