Clara dan Iqbal fokus pada layar monitor, mengikuti pergerakan mobil-mobil Renner dan Ari. Kamera body cam mereka juga telah dinyalakan, sehingga biarpun tidak ikut ke lokasi, Clara dan Iqbal tahu apa yang terjadi.
Ponsel Clara berdering. Ia melihat layarnya, lalu menekan tombol merah dengan cepat.
"Ih, durhaka tau nge-reject telepon dari bokap." sahut Iqbal.
Clara hanya menatapnya malas, "Kayak lo bakal ngangkat telpon dari bokap lo aja."
Iqbal tersenyum menyeringai, "Bokap gue nggak mungkin nelfon, jadi gue nggak mungkin ngangkat. Singkatnya, gue nggak durhaka."
"Nggak durhaka tapi nggak pulang ke rumah dua tahun?" tanya Clara kali ini, ekspresinya menantang.
Iqbal hanya terdiam, tapi akhirnya berkata, "Bukan dua, tapi satu setengah." entah Clara dapat info ini dari mana, mungkin dari Renner, mungkin juga dari Pak Dewa.
"Padahal rumahnya satu, nggak ribet." balas Clara lagi.
"Bokap nyokap lo pisah rumah?" tanya Iqbal kali ini. Clara mengangguk, "Bokap tinggal di rumah dinas. Gue tinggal di rumah pribadi sama nyokap."
Iqbal terheran, mengapa mereka tidak bercerai sekalian saja? Tapi ia tak mungkin menanyakan itu secara gamblang.
"Abis gue diculik, mereka ribut terus. Tapi gue yang maksa supaya mereka nggak cerai. Nggak kuat aja pisah-pisah rumah. Tapi ternyata, selama ini gue yang jahat ke nyokap. Makanya sekarang gue tinggal sama dia." jelas Clara, seakan bisa membaca pikiran Iqbal.
"Jahat gimana?"
"Bokap tuh, nggak akan pernah tunduk sama penjahat manapun. Bahkan waktu gue diculik." jawab Clara.
"Nyokap yang akhirnya maksa bokap buat ngeluarin ijin lelang itu. Makanya gue dilepas. Kalo bukan karena nyokap, nggak tau deh sampe kapan gue disekap." lanjutnya lagi.
Clara tidak tahu soal fakta tersebut hingga ia kuliah, ketika ayah-ibunya bertengkar hebat. Ibunya selalu memprioritaskan Clara, sementara ayahnya lebih fokus ke pekerjaannya. Karena itu juga ibunya mengiyakan permintaan Clara untuk tidak bercerai ketika Clara SMP, tak ingin membuat putrinya sedih.
Setelah mengetahui fakta itu, Clara menyarankan agar mereka bercerai. Tapi posisi ayah Clara yang sedang meniti karir menuju Jaksa Agung, membuatnya teguh untuk mempertahankan pernikahannya. Ibunya juga terlanjur membuka usaha sendiri dengan klien-klien istri-istri jaksa, jadi ia urung untuk bercerai.
"Sekarang udah pada tua, males ngurus cerai. Jadi, intinya pisah. Tapi di atas kertas enggak." sahut Clara lagi.
"Lo kenapa enteng banget ya cerita-cerita begini?" tanya Iqbal. Clara mengangkat bahunya, "Cerita gimana ya? Semuanya udah terjadi, mau apa lagi?"
Iqbal tertegun, sementara Clara hanya merapihkan rambut panjangnya, bingung akan reaksi Iqbal.
"Makanya gue males kalo Om Dewa ngelakuin hal kayak Ayah. Emangnya integritas karir lebih penting daripada anak sendiri ya?" tanya Clara retoris, setengah kesal. Akhirnya Iqbal paham mengapa Clara sangat keras terhadap atasannya kemarin.
"Tapi lo harusnya bangga juga. Pak Dewa sama Pak Binsar tuh angin baru buat kepolisian dan kejaksaan. Gue takut satu hari mereka mendadak dicopot." sahut Iqbal.
"Kan?? Makanya gue bilang, bisa jadi pelakunya itu bermotif politik. Tapi buat apa bangga kalo ngelindungin keluarga aja nggak bisa."
"Udah ah, liat tuh mereka udah sampe." ucap Clara menunjuk ke monitor.
"Anjing. Deg-degan gue." Iqbal kini duduk tegap, memastikan headset-nya terpasang dengan baik, dan memeriksa kembali sambungan komunikasi dengan tim di lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
AçãoSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣