Panas. Sesak. Dan sakit luar biasa.
Itu yang Iqbal rasakan saat ini. Ia ingin duduk seperti yang Danil instruksikan kepadanya, tapi badannya lemas luar biasa dan tak bisa ia kontrol. Tubuhnya lunglai dan hanya bisa mengikuti pergerakan Danil.
Nafas Iqbal pendek, sudah sekuat tenaga ia erahkan untuk mengambil oksigen tapi rasanya tak ada yang masuk.
Iqbal setengah terduduk, bersandar pada Danil yang bersimpuh menopang tubuhnya.
"Banghhh...sesekkkhhh.." lirihnya.
Ari yang baru selesai membebat luka tembak di lengan Iqbal, kini memeriksa rompi anti peluru Iqbal. Ia menyapu rompi hitam itu dengan tangannya dan menemukan apa yang ia cari.
Sambil membuka perekat rompi, ia berbicara pada Iqbal, "Bal, liat gue ya. Ada dua yang kena. Tapi nggak tembus, oke?" Iqbal mengangguk lemas.
Ari membuka rompi Iqbal dan melepasnya sempurna, netranya bertemu dengan mata sayu Iqbal, "Sekarang napas yang dalem." Iqbal mengikuti dan perlahan nafasnya membaik.
Ia merasa dada dan rusuknya sakit, tapi masih kalah dengan sensasi panas yang ia rasakan pada lengannya. Darah masih menetes sedikit tapi tidak lagi mengucur deras.
"Gimana?! Nggak apa-apa, kan??" tanya Renner yang baru datang menghampiri. Iqbal mengangguk lemas.
"Through-n-through, dua di lengan. Dua nyangkut di rompi, paling lebam nanti." jelas Ari sambil menunjuk rompi Iqbal.
Renner mengangguk, "Yaudah diem sini dulu, jangan gerak. Ambulans tiga menit."
"Anjing, tapi sakit banget...Bang?! Kok lo nggak ada yang bilang kalo sesakit ini?!?" keluh Iqbal.
Iqbal memang tidak pernah tertembak sebelumnya. Sebagai anggota Tim Cyber, ia hampir tidak pernah tugas lapangan. Di penugasan Tim Shadow, hanya ia dan Syarla yang selalu mendapat restu Dewi Fortuna perkara peluru, mereka tidak pernah punya luka tembak. Setidaknya hingga hari ini untuk Iqbal.
"Udah jangan cerewet. Simpen tenaga daripada lo pingsan." omel Danil.
Ambulans pun datang dan membawa Iqbal. Paul, yang daritadi sibuk memborgol para pelaku bersama tim narkotik, meminta Renner agar ia bergabung di ambulans Iqbal. Renner pun mengiyakan, "Ntar ketemu di RS Polri." sahutnya ketika Paul naik ke kendaraan putih tersebut.
"Ngapain sih lu?! Bagus begitu emang? Mau dibilang jagoan??" serbu Paul di ambulans.
Paramedis yang merawat luka Iqbal di lengan kanannya hanya bisa diam, meski dalam hati ingin memperingatkan agar Paul tak menambah stress pasiennya.
"Ng-nggak, Bang...Nggak kepikir tadi, refleks aja." jawab Iqbal.
Paul membuang nafasnya kasar. Ia tahu memang kejadiannya sangat cepat. Tapi ia tak menyangka Iqbal akan melakukan yang ia lakukan tadi.
Iqbal sendiri tidak bisa mengingat kejadiannya secara detail. Ketika tembakan terdengar, ia refleks menjatuhkan dirinya di atas Gifar, kemudian menggulingkan diri ke depan agar Gifar terlindungi sepenuhnya. Sedetik kemudian, ia merasa rusuk dan dadanya seperti dihantam benda tumpul. Lengannya yang ia pakai untuk bertumpu di tanah terasa panas terhunus sesuatu yang kecil tapi tajam.
Setelah itu yang ia ingat hanya teriakan Gifar, serta Ari dan Danil yang datang menghampiri.
"Lain kali, mikir dulu. Jangan langsung gerak." ujar Paul.
"Iya, Bang. Iyaa.." balas Iqbal seadanya, "Lagian gue nggak apa-apa kan? Biar pernah gitu, sekali. Pecah telor ketembak."
Paul menatapnya tajam, "Oh gitu?? Mau gue tembak aja tuh kaki besok? Atau kepala?? Atau mau nyoba snipernya Danil sekalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
AksiSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣