Melihat reaksi Karina, Iqbal berinisiatif untuk pamit pulang ketika hidangan makan malam berganti menjadi dessert.
Karina masih tak banyak bicara, dan masih tak melepaskan genggaman tangannya ketika mereka berjalan keluar. Iqbal tak ingin bertanya sampai mereka benar-benar berdua saja.
“Pulang sama gue, ya.” titah Iqbal. Tak ada tanggapan dari Karina, yang Iqbal artikan iya.
Di jalan menuju parkiran, akhirnya Iqbal bertanya, “Lo kenapa, Kar?”
Pikiran Karina yang tadinya melayang entah kemana, lantas kembali ke situasi mereka dan baru sadar bahwa tangannya masih bertaut dengan Iqbal, “Eh- sori, Bal.” buru-buru ia melepaskan genggaman itu.
“Ya, nggak apa-apa, tapi lo ada masalah apa sama Bang Is?” tanya Iqbal lagi, kini ia menoleh ke Karina, sementara Karina sibuk menghindari netra Iqbal.
“Ng- nggak kok, nggak apa-apa.” jawab Karina cepat.
Iqbal tak bertanya lagi, dan hanya menunjukkan letak parkir mobil Pak Dimas yang ia pinjam. Iqbal lalu membantu Karina untuk naik ke mobil Innova hitam yang tinggi itu. Dengan hak tinggi dan gaunnya, Karina memang sedikit kesulitan memasuki mobil. Setelah ia duduk sempurna, Iqbal berkata, “Gue nggak maksa lo buat cerita. Tapi inget aja kalo udah gue tandain tuh orang.” sahutnya sambil kemudian menutup pintu mobil.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Karina, mereka berbagi diam. Karina hanya menatap ke luar jendela, sedangkan Iqbal fokus berkendara. Radio FM yang Iqbal nyalakan tak kuasa mengisi ruang kosong mereka.
“Lewat sini aja, Bal.” ucap Karina memecah hening, memberi petunjuk jalan.
“Di sini? Tapi diportal.”
Karina mengangguk, “Iya, gue turun sini aja. Karena kalo mobil harus muter jauh. Itu rumah gue udah keliatan.” sahut Karina sambil menunjuk ke arah deretan rumah di seberang portal.
“Oke, yaudah.” balas Iqbal, ia kemudian memarkirkan mobilnya lebih dekat lagi dengan portal penghalang itu.
“Loh, ngapain? Kok parkir? Udah gue turun aja.” ucap Karina.
“Maksudnya? Ya gue mulangin lo sampe rumah, lah. Pamit ke bokap atau nyokap lo.” sahut Iqbal yang kini sibuk melepas seatbelt-nya.
“Hah? Lo serius? Itu deket banget Iqbal, rumah gue nomor empat dari portal tuh.” Karina masih memaksa agar ia jalan turun sendiri.
“Nggak nerima penolakan, sih.” bantah Iqbal. Ia lalu sibuk mengambil barang-barangnya sendiri, handphone dan dompet yang tercecer di dekat persneling.
“Bal.”
“Hm?”
“Gue mau cerita soal Bang Is.”
Iqbal menghentikan gerakannya, menghadapkan tubuhnya ke arah Karina sekarang, “Nggak apa-apa kalo lo nggak mau, Kar.”
“Enggak. Gue mau cerita. Singkat aja.” sahutnya. Iqbal mengangguk, menatap mata Karina lembut.
Karina memalingkan pandangannya, ia menatap dashboard mobil sekarang, “Ya…intinya he once violated me. Udah lama banget…”
Iqbal tak merespon, hanya menatapnya makin lekat.
Karina mengambil nafas dalam-dalam, “Pokoknya di satu malem. He tried to kiss me and then grabbed me all in the wrong places. I froze for a second, karena sama sekali nggak expect. Tapi akhirnya gue break free dan lari ke atas, minta satpam pesenin taksi.” ia bahkan tak bisa menuturkan kejadian itu dalam bahasa ibunya. Bahasa kedua, ia rasa lebih mudah untuk menceritakan kisahnya yang berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
ActionSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣