Bab 6: Interogasi

1.3K 195 52
                                    

Titik-titik air di gelas Iqbal yang berisi air dingin sudah menyelimuti seluruh permukaan gelas. Lima es batu yang tadi ia tuang juga sudah mencair sempurna. Sudah sekitar tiga puluh menit Iqbal, Syarla, dan Danil menonton interogasi Diki dari cermin satu arah di salah satu ruangan Polda Metro. Paul dan Renner yang berada di sisi seberang ruangan tersebut tampak sangat kesal, kesabaran mereka sudah di ambang batas.

Biasanya duo penyidik Reskrim ini sangat piawai dalam interogasi, tapi tidak kali ini. Diki bersikeras bahwa ia tak mengenal Kopay. Pertemanannya dengan Herman pun hanya sebatas teman satu sel. Semua barang bukti yang ada di gudangnya, adalah miliknya seorang, tak ada afiliasi lain.

Ruangan interogasi terasa pengap dan panas, membuat emosi Paul makin naik.

"Jangan ngadi-ngadi, lu. Lima kilo barang, punya lo semua?! Duit dari mana??" tanya Paul setengah berteriak, ia menggebrak meja.

Diki hanya melihatnya datar, "Ya, ngutang aja, Bang."

Renner duduk setengah di tepi meja, melihat ekspresi Diki dari POV lebih tinggi, Diki tampak tak gentar. "Paul, kira-kira kalo distribusi lima kilo itu dapet berapa tahun, ya?" tanya Renner retoris.

"Bisa sepuluh, bisa dua belas." jawab Paul.

"Kalo nambah? Misalnya barangnya ada sepuluh atau dua puluh kilo?" tanya Renner lagi, masih memperhatikan ekpresi Diki.

"Wah itu sih bisa dihitung sebagai supplier, kayaknya kena 20 tahun atau 25." jawab Paul lagi.

Renner mengangguk, "Iya.. iya... Sekarang, enaknya gue laporin ke jaksa lo punya lima atau dua puluh kilo?" tanyanya ke Diki.

Diki menoleh, alisnya berkerut, "Gimana...? Yang ada di gudang saya kan cuma lima?!"

"Yah, itu kan yang sekarang ketemu...Nanti yang saya laporin kan bisa beda lagi." jawab Renner, menyeringai. Ia berusaha membuat Diki kesal.

Diki tahu ini jebakan, "Yah terserah, nggak ngaruh buat saya." jawabnya singkat.

Renner frustasi dalam hati. Ingin rasanya ia menampar Diki, tapi ia teringat ancaman Clara, tak bisa lagi ia main hakim sendiri.

Tok!! Tok!! Cermin satu arah itu diketuk. Tanda salah satu dari mereka punya info baru untuk Renner dan Paul.

Renner mengangguk untuk masuk ke ruangan sebelah dan meninggalkan Diki dengan Paul.

Iqbal yang dari tadi fokus menggali informasi dari handphone Herman, akhirnya menemukan sesuatu.

"Sori, lama Bang. Nih." ucap Iqbal sembari memberi nomor telepon Diki, beserta semua isi pesan antara keduanya.

"Nah! Gitu dong. Gue butuh bukti baru. Bangsat tu orang pinter nggak kayak cecunguk lain." sahut Renner.

"Nil, lo hafal info-info dari tim Narkotik kan? Kayaknya Diki nggak bisa diintimasi deh. Nggak takut sama sekali sama Paul." lanjutnya lagi.

"Hafal sih hafal. Tapi angle lo apa?" tanya Danil.

"Negosiasi aja. Itung-itungan." ucap Renner. Danil mengangguk, "Gue kayak biasa ya. Lo ngomong aja duluan."

Kemudian Renner dan Danil masuk ruang interogasi, menggantikan Paul. Paul yang sudah lelah bersitegang dengan Diki, bersyukur akhirnya ia bisa istirahat sejenak.

"Jadi gini..." ucap Renner, mengawali interogasi jilid dua mereka.

"Kita tuh nemu handphone-nya Herman." lanjutnya lagi. Renner lalu menekan sebuah nomor—nomor Diki—dan kemudian handphone Diki yang sudah diamankan di dalam plastik barang bukti berdering kencang.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang