Bab 54: Beranjak Dewasa

1K 194 122
                                    

Tiga bulan setelahnya.

Berita tentang kematian Rony masih membuat Renner murka. Renner berkali-kali menonton rekaman CCTV yang merekam sudut tahanan Polda, tapi hasil rekamannya tetap sama. Rony yang meminta ijin ke toilet, lalu dikawal dua anggota. Dengan tangannya yang bahkan diborgol rantai ke kaki, Rony masih bisa melayangkan pukulannya ke salah satu polisi yang mengawalnya. Dan dengan cepat, mengambil pistol dari holster, dan menembakkannya ke bawah dagunya sendiri.

"Mas, udah kali, jangan ditonton terus. Udah berapa bulan juga." sahut Sabila sambil bergabung duduk dengannya di sofa.

"Hmm. Masih kesel. Cepet banget matinya. Aku nguber dia bertahun-tahun. Ternyata kuncinya di Tasha." ucap Renner.

"Aduh Tasha...gimana aku harus ngadepin dia next time ketemu?" keluh Sabila sekarang.

"Nggak usah dikasih tau, lah, Ca. Nggak ada poinnya. Kecuali dia mulai nanya-nanya."

"Enggak sih, kayaknya. Tiap cerita tentang ortu kandungnya, ya yang diceritain tetep almarhum Pak Syarif." ucap Sabila. Pak Syarif adalah supir Falcon yang meninggal di sebuah kecelakaan mobil.

"Udah jangan kesel lagi." lanjut Sabila, melihat ekspresi Renner yang masih terganggu, "Kan bulan depan naik pangkat." sahut Sabila sambil menaikkan alis dan tersenyum.

Renner ikut senyum, "Iya. Akhirnya. Bareng Iqbal sama Syarla juga. Kamu beneran bisa dateng, kan?"

"Bisaa. InsyaAllah. Udah ijin ke Medika." jawabnya.

Bulan depan, genap 10 tahun Renner bekerja di kepolisian. Upacara kenaikan pangkat nanti akan menjadi begitu bermakna, bukan hanya karena panjangnya karir yang ia jalani, tapi juga kehadiran sang istri di acara itu. Lima tahun lalu, hanya Tante Rita dan Baim yang menemani pengukuhannya sebagai AKP.

Renner tahu sekarang, bahwa panjang karirnya juga tak ada gunanya tanpa support Sabila. Ia menatap istrinya lekat, lalu meraih tangannya, "Ca. Aku udah pikirin baik-baik. Aku bakal keluar dari Tim Shadow kalo nanti kita punya anak." ucap Renner.

Sabila terkesiap mendengar penuturan itu, awalnya hanya menatap netra suaminya. "Mas...kamu yakin?" tanyanya akhirnya.

"Yakin." jawab Renner hampir tanpa jeda.

"Nggak usah deh, Mas. Aku nggak mau kamu ninggalin sesuatu yang kamu suka cuma karena aku minta." balas Sabila. Kini ketika kenaikan pangkat itu sudah dekat, Sabila baru sadar betapa suaminya mencintai keprofesiannya, sama seperti dirinya.

"Enggak. Ini bukan demi kamu. Ini demi kita." ucap Renner lagi, "Aku nggak bisa keluar pintu rumah kalo kamu was-was jadi janda anak satu, atau dua, atau tiga."

Sabila mengelus tangan suaminya, "Ya...kan ada opsi lain. Kita nggak usah punya anak? Nggak apa-apa kan? Banyak anak panti yang bisa kita asuh." jawabnya lagi.

Kini netra Renner bergetar, Sabila bahkan rela mengesampingkan keinginannya untuk Renner. Ia mengecup punggung tangan istrinya, "Tapi aku pengen jadi ayah dari anak-anak kamu, Ca. Memang mungkin nggak sekarang. Tapi suatu saat."

Sabila meneteskan air matanya. Entah Renner sadar atau tidak, tapi sebenarnya Renner tidak pernah sekalipun berkata ia ingin memiliki keturunan. Semua pembahasan mengenai anak, dan penundaannya, selalu mengikuti keinginan Sabila. Renner tak pernah sekalipun mengekspresikan keinginannya sendiri.

"Mas...beneran?" tanya Sabila.

"Loh beneran, kok kamu nangis sih? Sini." jawab Renner lalu mendekap istrinya erat.

"Nggak apa-apa. Terharu aja. Kayak baru pertama aku beneran bayangin kita bakal punya anak." lirih Sabila.

Renner terkekeh, sekarang paham arah pikiran Sabila, "Ya ampun, Caca... aku tuh selalu mau punya anak sama kamu. Tapi kan, yang bakal jalanin kamu. Makanya aku selalu pengen ngikut kemauan kamu."

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang