Bab 45: Hilang Kendali

936 169 50
                                    

Di saat yang hampir bersamaan, Rian sudah bersiap untuk pulang. Sebenarnya Sabila menyarankan untuknya menginap satu malam lagi, tapi Rian tidak ingin berada di rumah sakit lebih lama

“Ini luka jahitnya aja yang mesti diperhatiin. Lainnya udah oke.” sahut Sabila.

Rian mengangguk, “Makasih ya, Sabila, Suster Rini, udah bantuin saya selama di sini.”

Suster Rini tersenyum, “Iya, Mas. Pokoknya, kalo ada apa-apa bisa langsung ke Wing VVIP, ketemu saya atau Dokter Sabila langsung.”

Post-op care juga ditanggung soalnya.” tambah Sabila.

Rian mengemas barang-barangnya yang tak banyak. Ia dirawat kemarin siang dan malam ini sudah pulang, hanya bermodal beli sikat gigi dan sabun mandi di minimarket bawah. Jadi dengan cepat, barangnya sudah rapih.

“Oke, bye, Sabila…! Oh iya, salam ya, buat suami kamu.” ucap Rian ke Sabila melambaikan tangannya yang berubah high-five.

Sabila sedikit bingung tapi mengangguk tersenyum, “InsyaAllah disampaikan.” dan menyambut tos Rian.

Rian pun berjalan keluar ruangan, Suster Rini mengikuti untuk mengantarnya mengurus administrasi terakhir di depan. Sementara Sabila melempar pandangannya ke kamar kosong, memeriksa apa ada barang yang tertinggal–tapi tampaknya tidak ada.

Sejurus lalu, ponsel Sabila berdering kencang. Sabila terkaget sampai menjatuhkan ponsel dari kantong sneli-nya. Kamar yang melompong itu memang membuat deringnya lebih kencang.

Caller ID.
Bank.

Anjing udah ngagetin, nggak penting pula. Batin Sabila.

Ia memungut ponselnya dari lantai, yang sedikit masuk ke kolong tempat tidur. Ketika menunduk, Sabila melihat benda bulat dengan lampu LED merah redup tertempel di salah satu kaki tempat tidur. Ia lantas mengambilnya. Benda pipih itu hanya sebesar koin chip kasino. Warnanya hitam, tidak ada tombol apapun, tak terlihat seperti apapun, dan kebanyakan orang tak akan ambil pusing.

Tapi sayang, Sabila bukan kebanyakan orang. Ia sangat tahu benda apa itu.

Sabila lalu mengambil langkah panjang ke kamar sebelah. Om Dedi masih menjalani tes lab terakhir dan Tim Shadow sudah bubar dari jam lima tadi. Jadi, ia hanya menemukan Renner seorang diri di sana, sedang berkutat dengan laptopnya.

“RENNER ANGKASA SIMANJUNTAK!!”

Renner terlonjak. Suara Sabila tak hanya menggema, tapi menggelegar.

Renner tahu, ia sudah ketahuan.

⏳⏳⏳

Setelah kejadian pelemparan gelas, Karina duduk di taman rumah sakit, berusaha menenangkan diri dan merefleksikan apa yang terjadi.

Kini ia paham mengapa Iqbal tak ingin dirinya terlibat, karena Iqbal tahu ia tak akan sanggup menahan diri—tadi ia sudah siap melempar ayahnya itu dengan gelas lain. Kalau perlu ia ke dapur untuk mencari pecah belah lainnya. Jika ia tak menghargai perasaan Iqbal, Pak Erik sudah Karina maki-maki dari awal bertemu.

Kepala Karina terasa mendidih. Penuh dengan amarah, tapi juga rasa tak berdaya untuk membela Iqbal. Ia tahu Iqbal ingin melawan dengan caranya sendiri, jadi sementara ia harus menahan diri.

Di sisi lain, Iqbal berdiri di rooftop lantai 3, tempat persembunyian Renner untuk merokok. Ia tahu karena pernah mencari Renner dimana-mana tapi tak ketemu. Akhirnya ia memeriksa CCTV dan menemukan abangnya naik ke tangga darurat yang tidak diketahui orang, menuju ke tempatnya berdiri sekarang.

Dari atas gedung, Iqbal merasa semuanya lebih tenang. Orang-orang terlihat kecil. Semua masalah terlihat mengecil juga. Dari sini, Iqbal juga bisa melihat perempuannya yang sedang terduduk bengong memandang dinding kaca rumah sakit. Meski pandangannya menghadap kesibukan koridor rumah sakit, pikirannya tampak melayang ke tempat lain.

Ah, pasti omongan ayah menyakiti hatinya. Iqbal menyesal tak datang lebih cepat tadi.

Tak lama, Iqbal melihat ada seorang pemuda terlihat menghampiri. Persis seperti di taman apartemen beberapa waktu lalu. Entah mengapa Karina selalu didekati lelaki tak tahu diri. Karina terlihat menghindar, lalu ia bangkit dan mencari tempat lain. Tapi si lelaki tetap mengikuti.

Si bangsat ngapain si, gua lagi nggak mood. Batin Iqbal.

Iqbal mematikan batang rokoknya yang baru setengah. Lalu bergegas menuruni tangga. Ia menuruni dua lantai secepat kilat, dan menelusuri koridor dengan dinding kaca. Sambil setengah berlari, Iqbal bisa melihat Karina sedang adu mulut dengan si lelaki dari kaca koridor. Tapi kemudian, si lelaki mencengkram lengan Karina, ia pun berusaha menghempaskannya, namun tenaganya kalah kuat dengan lawannya.

Iqbal tahu, dalam dua detik ke depan perempuannya akan berteriak kencang. Jadi Iqbal berbelok cepat, dan..

BUGH!!

Sebelum Karina berteriak, Iqbal sudah melayangkan bogemnya. Kepalan tangannya berhasil menumbangkan si lelaki, ia langsung jatuh terjerembab.

Karina tak melihat Iqbal datang, tiba-tiba saja, Iqbal sudah beradu dengan pria yang mengganggunya.

“Tolong…!!!” teriak Karina. Sontak, banyak orang yang datang mengerubungi mereka.

Karina berteriak karena alasan lain–bukan karena si pria yang mengganggu tapi karena pukulan Iqbal tak berhenti. Bogem pertama Iqbal memang hanya ke arah perut, membuat sang pria jatuh. Tapi pukulan selanjutnya beruntun tanpa jeda, ke pipi kanan, pipi kiri, perut, dada, lalu kembali ke wajahnya.

“Bal…! Bal!!!” Danil menariknya sambil berteriak juga. Untungnya, Danil dan Clara sedang bercakap di koridor ketika semua itu terjadi. Mereka langsung berlari menghampiri ketika mendengar teriakan Karina. Danil refleks menarik Iqbal kuat, sementara para suster membantu si lelaki untuk mendapatkan pertolongan.

Iqbal masih meronta minta dilepaskan, ia belum puas menghajar lelaki tadi. Tapi tubuhnya tertahan oleh Danil yang mengekangnya dari belakang. Clara yang tak sabar, akhirnya menampar pipi Iqbal pelan, “Bal, itu Karina…dia takut liat lo!!”

Mendengar nama Karina disebut, Iqbal seperti tersadar dari sebuah trance. Ia menghentikan perlawanannya ke Danil, dan berdiri menenangkan diri. Matanya melirik ke Karina yang masih berada di tempatnya, mematung, melihat Iqbal dengan tatapan horor, seperti melihat hantu.

Karina mundur perlahan, tak mengucapkan apapun, lalu berbalik dan berjalan keluar rumah sakit.

Clara dan Danil menghela nafas berjamaah. “Kejar, dah! Ntar gua sama Danil yang urus ini dulu.” sahut Clara.

Iqbal menatap keduanya ragu, tapi akhirnya ia berlari juga mengejar Karina.

“Perkara apa sih?!” tanya Clara ke Danil ketika Iqbal sudah menghilang. Danil mengangkat bahu, “Nggak tahu pasti. Tapi yang jelas, bokapnya Iqbal tuh dirawat di sini dari kemarin.” jawabnya.

“Ah, bangke! Harusnya kita penjarain aja tuh Si Erik. Gue takut, salah-salah Iqbal yang masuk bui kalo dia hilang kendali kayak gini.” keluh Clara.

“Syut, Clar! Itu mulut lemes banget si. Iqbal nggak pernah kayak gini, jadi pasti ada sesuatu.” bela Danil.

Diantara mereka semua, sebenarnya Iqbal yang paling anti kekerasan dan intimidasi. Karena Iqbal tak perlu memakai teknik itu untuk investigasi. Cukup jemarinya yang menari di laptopnya untuk cari informasi dan riset sana sini. Iqbal hampir tak pernah melayangkan pukulannya.

“Nggak pernah?? Suaminya Bu Tri tuh udah hampir pingsan dia gebukin, Nil.” ucap Clara, mengingatkan kejadian tempo hari.

“Yah…dia lagi usaha, Clar. Emang bokapnya rada-rada, kan. Apalagi ketemu Karina.” sahut Danil sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Kini, ia dan Clara harus berurusan dengan korban Iqbal yang sedang terkapar di brankar.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang