Bab 43: Pneumonia

1.1K 197 110
                                    

Iqbal tidak jadi balik ke Polda dan memutuskan untuk menunggu keluarganya datang. Meski tak terlalu suka dengan ayahnya, tapi ia tetap tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Karina pun urung menuju kamar Om Dedi, ingin hadir ketika musuh bebuyutan Iqbal sampai.

"Nggak apa-apa, Kar. Nggak usah nungguin gue." ucap Iqbal.

"Nggak, ah. Ayah pasti juga masih panjang lebar sama Om Dedi. Aku mau disini. Tenang aja, bakal jaga jarak kok." balas Karina. Ia tahu Iqbal pasti tak ingin ia terlalu dekat dengannya.

"Hm. Yaudah nanti pas mereka dateng kamu duduk sini aja."

Karina mengangguk, lalu mereka duduk di ruang tunggu IGD dalam diam.

Tak lama, pintu ruang IGD terbuka, terlihat Nisa yang mendorong kursi roda dengan bantuan satpam masuk ke dalam. Ibunya berjalan di sebelahnya, sementara ayah Iqbal terkulai lemas.

Iqbal datang menghampiri, begitu juga Sabila dan Ega yang langsung memindahkan ayah Iqbal ke brankar.

Ayahnya terbatuk hebat dan kesulitan bernafas, nafasnya pendek dan hampir tak sampai.

"Udah berapa lama kayak gini?" tanya Sabila ke Nisa dan Ibunya.

"Batuknya udah dua mingguan. Tapi susah nafas begini dari kemarin, tadi makin parah makanya langsung ke sini, Dok." jelas Ibu Iqbal.

"Ega, X-ray prep langsung ya." ucapnya ke Ega, juniornya itu langsung bergerak mengambil alat X-Ray.

Sabila memberi ayah Iqbal masker oksigen, lalu memerintahkan mereka untuk menunggu di ruang tunggu IGD, "Saya periksa dulu ya. Nanti saya panggil."

"Tolong ya, Kak." ucap Iqbal. Sabila mengangguk, "Nanti langsung aku kabarin, Bal."

Iqbal mengambil duduk di samping Karina, yang memang duduk di barisan terdepan menghadap area brankar. Sementara ibunya dan Nisa mengambil duduk di sebelah Iqbal, berderet.

Nisa yang dari tadi fokus dengan ayahnya, baru menyadari keberadaan Karina, "Loh Kak Karina?"

Karina merasa sedikit kikuk, pertama kali ia bertemu dengan ibunya Iqbal. "I-iya, Nis. Tante." ucapnya sambil mengangguk takzim.

"Karina nunggu ayahnya ambil hasil lab." jelas Iqbal tanpa ditanya. Nisa mengangguk.

"Mas, kamu tuh nggak pernah ngunjungin ayah padahal udah sakit dua minggu loh." keluh Ibu Iqbal, terlihat tak peduli dengan Karina.

"Ya...ngapain? Ayah juga nggak mau Mas jengukin." balas Iqbal datar.

"Nggak gitu, lah. Pasti ayah seneng kamu perhatian." ucap sang ibu.

"Bun, ayah tuh nganggep Mas ganggu. Udahlah terima aja. Daripada Mas pulang, malah ribut. Bunda yang kasian." jelas Iqbal panjang-lebar.

"Bunda tuh cuma nggak mau kamu makin renggang sama ayah.."

"Udah, Bun...kita doa aja buat ayah sekarang." potong Nisa, tak ingin memperpanjang debat antara kakak dan ibunya yang tak ada usainya itu.

Sepuluh menit berlalu, Sabila lalu memanggil Iqbal dan keluarga, mereka kembali mendekat ke brankar. Ayah Iqbal sudah dalam posisi setengah terduduk, lebih segar daripada ketika pertama datang.

"Ayah kamu kena pneumonia, Bal, Nis. Harus rawat inap, karena paru-parunya terinfeksi, jadi ada obat antibiotik yang harus masuk lewat infus." jelas Sabila. "Ada riwayat asma?" tanyanya kemudian.

"Ada Dok. Ayah emang suka asma berat kadang." jawab Nisa.

"Nah ya, apalagi. Biar paru-parunya nggak collapse dan dimonitor terus sampai infeksinya hilang." jelas Sabila lagi.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang