Clara memacu mobilnya bak orang kesetanan. Sebab nafas Iqbal tak kunjung membaik. “Lo asma ya? Bawa inhaler nggak?” tanya Clara.
“Ghhhak pernah kam-buh..” ucap Iqbal terpatah. Ia memang tak pernah membawa inhalernya lagi. Sejak lima tahun lalu ia rutin berenang dan lari, penyakit pernafasannya itu sudah jauh membaik.
“Yaudah, yaudah jangan ngomong dulu, Bal.”
Clara berbelok ke RS Mayapada dan menurunkan Iqbal di IGD. Ia langsung ditangani oleh para dokter, diberi oksigen dan diperiksa lebih lanjut. Clara memarkirkan mobilnya, lalu mencari brankar Iqbal.
Iqbal terkapar, masih menggunakan masker oksigennya, tubuhnya lemas. Ia juga setengah tertidur, kepalanya terkulai menahan kantuk.
“Mbak, dengan istrinya?” tanya seorang dokter ketika Clara mendekat ke brankarnya.
“Eh- bukan, Dok, saya…rekan kerjanya.”
“Oh. Ini saya mau jelaskan tentang Mas Iqbal…” sang Dokter meminta Clara untuk melipir dari brankar.
Setelah penjelasan singkat itu, Clara menghampiri dan menatap Iqbal, lalu berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang. Iqbal diberi sedikit sedatif untuk menenangkan tubuhnya.
“Bal? Lo mau gue anter pulang?” tanya Clara, sedikit mendekat ke wajah Iqbal sebab Iqbal terbaring sempurna.
“Kar…” sahut Iqbal dari masker oksigennya. Kesadarannya memang hanya setengah.
“Gua Clara, Bal.” balas Clara.
Clara beranjak, ingin menelepon Renner, tapi tangannya ditahan, “Jangan pergi.” lirih Iqbal. Clara menatap juniornya itu, iba. Mata Iqbal tertutup setengah, tapi cukup aware dengan sekelilingnya. Clara kembali duduk, “Yaudah. Gue nggak kemana-mana.” sahutnya.
Clara memutuskan untuk mengirim pesan.
Renner Simanjuntak
Ren, Iqbal masuk IGD.
Dia gpp, udah langsung boleh pulang abis ini.
Gue ke tempat lo ya bentar lg. Penting.⏳⏳⏳
Renner menatap pesan dari Clara bingung. Ia tunjukkan ke Sabila yang juga sama bingungnya. Clara tidak pernah sekalipun mampir ke apartemen Renner. Meski mereka akrab, tapi hubungan keduanya sebatas rekan kerja saja.
“Kamu nggak apa-apa, kan, dia kesini? Nggak cemburu?” tanya Renner.
Plak!! “Ih, apa sih…! Yang cemburuan itu kan kamu.” jawab Sabila sambil memukul suaminya yang duduk di sofa, di sebelahnya.
“Nanya salah, nggak nanya salah.” gerutu Renner.
“Jadi laki nggak peka banget, sik.” ucap Sabila, “Kan dia kesini sama Iqbal. Makanya aku nggak cemburu.”
“Ooh..Jadi sebenernya cemburu, kan?” tanya Renner, ia senang menggoda istrinya, wajahnya yang tertekuk membuat fitur muka Sabila menggemaskan.
“Bodo amat!!” sahut Sabila, “Sini aku ganti dulu perban luka kamu, sebelum mereka dateng.” ucapnya lagi.
“Bisa aja, Dok, ganti topiknya.” balas Renner. Tapi ia segera beranjak dan mengambil alat-alat untuk mengganti perban.
Satu yang Renner nikmati sekarang, ia tak lagi harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mendapatkan perhatian dari doker kesayangannya. Dengan telaten, Sabila mengganti perban luka Renner, jahitan kemarin masih belum sembuh sempurna, tapi tak ada infeksi atau komplikasi lainnya.
Jari-jari Sabila sibuk di perut Renner, sementara si pasien menatap dokternya lekat.
“Ca. Tadi sebelum pulang, kamu mampir mana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
ActionSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣