Setelah berbicara dengan Bu Nia, Renner dan Paul segera mencari tahu tentang Tedi. Menurut salah satu Polsek di Makassar, Tedi memang ditangkap tiga bulan lalu karena memiliki ganja. Sayangnya, lapas setempat belum bisa dihubungi, jadi keberadaan Tedi tidak bisa dipastikan.
Kedua sahabat itu memutuskan untuk mempelajari semua data di case file Pak Beno, selagi menunggu pagi. Mereka berencana mendatangi TKP besok pagi ketika matahari telah terbit. Di hotel tempat mereka menginap, Renner dan Paul membaca semua berkas hingga terlelap.
Jam tujuh pagi esoknya, sesuai rencana, mereka telah bersiap menuju TKP. Renner memeriksa ponselnya dan menemukan satu panggilan tak terjawab dari istrinya. Ia balik menelpon, tapi kali ini Sabila yang tak mengangkat.
Mas Renner 👊🏻🖤
Tumben nelfon malem-malem.
Kamu nggak apa-apa?Renner tahu pesan itu tak akan segera dibalas. Shift panjang Sabila baru akan selesai siang nanti. Dan tak ada yang tahu keadaan IGD di jam tersebut, bisa jadi banjir oleh pasien.
Keadaan TKP belum berubah. Garis kuning polisi masih mengelilingi mobil Pak Beno yang terparkir asal di pinggir jalan. Di sekitarnya tak ada toko atau warung. Hanya pematang sawah di sebelah kiri, dan lahan kosong bertembok tinggi di sebelah kanan. Padahal, belok sedikit di depan, sudah ada perumahan. Jelas, pelakunya memilih tempat yang tepat.
Renner memperhatikan kerusakan di mobil Pak Beno. Seluruh kaca dipecahkan, begitu juga lampu-lampunya, pintu supir juga dirangsak, tapi mereka tak menyentuh bagian dalam. Ada bekas darah Pak Beno di aspal dan di jok supir. Tampaknya, kepala Pak Beno dipukul benda tumpul kalau melihat dari tetesan darahnya.
"Bangsat.." umpat Paul. Dengan hati-hati ia membuka dan meneliti pintu supir yang sudah rusak itu.
"Ren, lihat deh." ucapnya, "Menurut lu, aneh nggak?"
Paul menunjuk daun pintu yang tak rusak, tapi justru handle pintu yang penyok ke dalam.
"Lah? Nggak dibuka paksa?" tanya Renner heran.
"Biasanya pake linggis kan, pasti ada codet di sini dan di sini." ujar Paul sambil menunjuk bagian-bagian pintu.
Jika tidak dibuka paksa, artinya Pak Beno kenal dengan pelaku, dan membuka pintu mobilnya sendiri. "Feeling gue nggak enak banget, Ren. Kayak, 80% ini pasti Si Tedi." sahut Paul lagi.
Renner lalu menekan tombol-tombol di ponselnya, berusaha mengontak lapas Makassar sekali lagi. Tapi masih belum juga tersambung.
"Ah anjing...! Susah banget sih dihubungin?!" umpat Paul lagi.
⏳⏳⏳
Selepas shalat Subuh, Sabila kembali ke station-nya. Keadaan IGD yang cukup ramai mendistraksi pikiran Sabila sejenak. Ia berniat untuk minta maaf ke Bu Tantri nanti ketika pagi datang dan IGD lebih tenang.
Sabila sedang menangani seorang lansia yang jatuh di kamar mandi, ia datang dengan cucunya yang masih duduk di bangku SMA. Panik tak karuan karena orangtuanya sedang berada di luar kota. Sabila segera melakukan tes-tes dasar dan X-Ray. Untungnya, tak ada patah tulang dan tak ada pendarahan dalam dari hasil pemeriksaannya. Sabila meminta sang nenek untuk beristirahat sebentar sementara mereka melakukan observasi lanjutan.
Ia berbelok kembali ke station untuk memeriksa data pasien. Saat itu, Dokter Namira menghampirinya.
"Sabila.." ucap Dokter Namira pelan.
"Ya, Dok?"
Dokter Namira menggeser posisi mereka agar dapat bicara empat mata. "Pak Edwin, meninggal 15 menit yang lalu di ICU. We did our best."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
ActionSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣