Bab 40: Makan Malam pt 1

913 179 55
                                    

Seminggu kemudian.

Penangkapan Bu Heni terbilang sangat lancar. Ia ditangkap di kediamannya, setelah ia pulang praktek dari rumah sakit. Semua ini berkat kerja sama dengan Pak Bambang, yang memutuskan untuk menjadi kolaborator polisi untuk mengurangi hukuman penjaranya. Ia juga sudah muak dikontrol dan diekstorsi oleh Bu Heni. Rupanya otak dari segala operasi jahat ini adalah Bu Heni seorang, Pak Bambang hanya terlanjur terlibat, juga diancam agar tak bisa praktek lagi. Padahal niat awal Pak Bambang hanya menyediakan obat terbatas untuk pasien-pasiennya yang tak punya pilihan lain.

Di balik jas putih yang jadi panutan,
Tersembunyi niat jahat yang menghancurkan harapan.
Obat ilegal dijual, tak peduli nyawa melayang,
Dokter yang seharusnya bermoral,
malah menjadi ancaman.

“Demikian wawancara eksklusif dengan jurnalis kami sendiri, Karina Wijaya, yang ikut mengungkap kasus pembunuhan Dokter Tami Budiono sekaligus skandal jual-beli obat ilegal oleh Bambang Surapati dan Heni Hapsari—keduanya mantan dokter dari rumah sakit ternama. Sekian dari Studio 5 J-News TV, saya Najeela Shihab. Sampai jumpa.”

“Ih…! Keren Kak Karina!” decak Nisa kagum.

“Ah, maluuuu.” sahut Karina, ia mengecilkan volume TV di depannya. Aneh menonton dirinya sendiri di layar kaca, apalagi bukan untuk melaporkan berita, melainkan menjadi narasumber.

Malam ini, Karina mampir ke rumah Iqbal, membayar makan malam yang waktu itu tidak terjadi karena pertengkaran mereka. Itu alasan pertama.

Alasan kedua, Iqbal sudah seminggu ini menghindarinya. Dan ia tak tahu apa sebabnya. Semua pesannya hanya dijawab sekenanya, sementara telepon tak pernah diangkat dengan berjuta alasan.

Karina datang tanpa bilang, hanya Nisa yang ia beritahu soal kedatangannya. Iqbal tak punya pilihan lain selain mempersilahkannya masuk. Dan lagi, Nisa sangat excited kedatangan role model barunya yang menghiasi TV dan berita akhir-akhir ini. Nisa, sebagai mahasiswi komunikasi, sangat mengikuti berita skandal teranyar.

Iqbal menguyah kentang goreng di piringnya dengan malas. Nisa memaksa mereka untuk makan di sofa ruang tengah karena ingin sambil menonton program Najeela Shihab yang mengupas tuntas kasus kemarin, mendatangkan beragam narasumber, termasuk Karina. Karena sekarang narasumber utamanya ada di hadapannya, Nisa membombardir Karina dengan ragam pertanyaan.

Nisa akhirnya tiba di pertanyaan pamungkasnya, “Kakak mikir apa pas mereka udah masuk ruangan?”

“Nisa…” ucap Iqbal, “Nggak gitu ah nanyanya. Udah, cukup.”

“Nggak apa-apa. Gue udah cerita ini berulang kali kok, Bal.” jawab Karina. Sementara Iqbal, menoleh ke adiknya tajam. Nisa hanya tersenyum meringis. Ia lupa bahwa kejadian itu pasti menjadi trauma tersendiri bagi Karina, berbeda dengan abangnya yang memang polisi.

“Jujur, nggak tau. Aku udah pasrah. Pokoknya, aku bakal lawan sebisa aku. Dan lagi, aku tahu Iqbal udah di jalan. Jadi, masih ada kesempatan untuk selamat.” jawab Karina.

Nisa mengangguk, ia menghentikan pertanyaannya, dan membereskan piring-piring sisa pizza dan french fries. Meninggalkan abangnya dan Karina berdua.

Nisa yang tadinya duduk di antara mereka, menyisakan jarak di sofa yang tak terlalu besar itu. Karina kini bisa menatap Iqbal lekat, “Kemana aja, Bal?” tanyanya.

“Sibuk. Kan kasus ini baru bungkus, jadi ya, banyak mesti nulis laporan, proses bukti, siap-siap buat sidang.” jawab Iqbal.

“Hmm..” balas Karina.

Ketika Nisa kembali dari dapur, ia melihat kedua sosok kakaknya dari belakang. Terlihat kecanggungan di antara mereka dan bahwa ada jarak yang harus dijembatani.

Jadi, ia memutuskan untuk berbelok, “Mas! Pinjem motor, ya! Nisa mau ke Gramed bentar mau beli keperluan kampus buat besok! Samlekom..!” ujarnya.

“Hah...? Sejak kapan-”

Brakk!! ucapan Iqbal terpotong dengan suara pintu depan yang tertutup.

Dan kini, Iqbal sudah tak bisa lagi menghindari lawan bicaranya.

“Lo kenapa sih, Bal?” tanya Karina sekarang, tak mau menyia-nyiakan momen berdua persembahan Nisa ini.

“Nggak tahu.” jawab Iqbal pendek.

“Bal, kita harus ngomongin kejadian minggu lalu.” ucap Karina.

“Harus?”

Karina menghela nafasnya. Tak sabar dengan jawaban Iqbal, “Jadi gue disayangnya cuma kalo lagi di brankar rumah sakit, ya?”

Iqbal kini menoleh, tak heran dengan pertanyaan Karina, lalu menatapnya lekat, “Gue sayang sama lo. Mau lo di rumah sakit, di TV, di kantor J&D, di rumah pelaku, bahkan di sini sekalipun.” ucap Iqbal tanpa jeda.

Justru Karina sekarang yang tak siap dengan penuturan Iqbal. Sudah beragam manusia yang ia wawancarai, tapi tak pernah Karina sekaget ini mendengar jawaban lawan bicaranya.

“Te- terus, kenapa selama ini ngehindarin gue?”

“Karena gue sayang sama lo, Kar…” ucap Iqbal lagi, kini nadanya berubah lirih.

Karina sungguh tak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Iqbal.

“Gue juga sayang Bal, sama lo, tapi susah kalo you won’t let me in. Lo kenapa? Kita kenapa? Jelasin, dong. Please…” pinta Karina.

Iqbal menggigit bibir bawahnya. Bimbang.

“Gue lagi nggak baik-baik aja, Kar. Cuma itu yang bisa gue ceritain sekarang. Tapi gue lagi usaha, supaya bisa lebih baik.” netra Iqbal bergetar ketika mengucapkan itu.

Karina duduk mendekat, mengikis jarak antara mereka, lalu meraih tangan Iqbal, “Gue bisa bantu apa, Bal? Plis, kasih tau.”

Iqbal tersenyum miring, “Enggak. Ini urusan gue sama diri gue sendiri. Nanti kalo udah kelar, baru gue cerita ke lo.” ia menarik tangannya, lepas dari Karina.

“Bal, lo udah nolongin gue, biarin gue nolongin lo sekarang?” pintanya lagi.

Lagi, Iqbal tersenyum, “Beda konteks, Karina…”

“I have a shit life. Aku nggak mau kamu terlibat.” ucap Iqbal, masih hemat dalam penjelasannya.

“Sampe kapan, aku harus nunggu kamu, Bal?” tanya Karina, “Minimal, kasih tau masalah kamu apa..”

“Nggak tahu, Kar. Udah jangan nungguin aku, makanya... Hmm, ya masalah aku, sama Ayah.” jawab Iqbal.

Emosi Karina bercampur aduk. Sedih, kecewa, kesal. “Aku nggak paham aja, kenapa kita deket, terus sekarang kamu malah bikin jarak…” suara Karina bergetar, menahan tangis.

“Maaf ya, Kar. Ego gue nggak ngebolehin kamu ikut di sini.” jawab Iqbal.

“Lo jahat.” kata-kata itu tak Karina pikirkan dengan matang. Tapi itu cukup menggambarkan perasaannya ke Iqbal saat ini. Ia sudah kepalang menaruh perasaan dengan pria yang ada di depannya. Namun apa? Ia malah menolaknya dengan alasan yang tidak jelas.

“Emang. Makanya kamu sama Deva aja, lah. He likes you a lot.” ucap Iqbal.

Karina mengerutkan alisnya, sangat tajam hingga kedua alisnya hampir bertemu.

“Apaan sih…?! Deva cerita lama kali. Dan gue nggak pernah suka sama dia. Nggak peduli dia gimana.” balas Karina kesal.

“Masa? Tapi bahkan tempat escape kamu, itu kalian temuin bareng-bareng, kan? Mimpi dari kecil kalian, supaya kalo udah gede suatu saat bisa sekaya orang-orang di apartemen itu.” ucap Iqbal, sebuah anekdot yang ia ketahui dari Deva tempo hari.

“Ya terus kenapa…?! It was a stupid teenage dream.” Karina tambah kesal, sementara Iqbal hanya melihatnya datar.

Tapi kini Karina menyadari sesuatu, Iqbal sengaja membuatnya kesal.

“Bal, I’m not going anywhere. Terserah kamu mau gimana.” ucapnya sambil menatap Iqbal lekat.

Iqbal tak membalas kalimat itu. Tapi tiba-tiba, ia menarik Karina dalam pelukannya. Kemudian ia mendekapnya lebih erat.

Dan lalu, Iqbal menangis tanpa suara.

Shadows of Two Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang