Sabila bangun dari tidurnya jam delapan lebih sedikit. Ia menoleh ke samping, sprei berantakan itu sudah tak berpenghuni. Renner pasti sudah bangun duluan. Ia lantas mandi dan bersiap-siap, meski shift-nya baru mulai jam 10 nanti.
Ketika Sabila sudah siap, ia beranjak ke ruang tengah yang bersambung dengan ruang makannya, berniat membuat sarapan. Tapi matanya mengerjap melihat pemandangan di depannya, “Hah- Mas? Kamu ngapain…?”
“Hehe, breakfast dulu sayang.” ucap Renner dengan senyum merekah.
Ruang tengah mereka telah ia sulap. Sofa yang biasanya menghadap ke TV dan rapat ke tembok, ia geser ke samping sehingga menghadap balkon mereka. Posisi sofa memang jadi di tengah ruangan menghalangi TV, tapi mereka jadi bisa melihat pemandangan kota Jakarta di pagi hari lewat pintu kaca balkon yang besar.
Omelette, croissant, dan beragam pastry lain sudah terhidang di coffee table. Tenang, Renner pesan online jadi rasanya terjamin.
“Alah, bilang aja kamu males keluar.” balas Sabila.
Sambil menaruh kopi yang baru saja ia buat, Renner menjawab, “Iya itu satu.”
“Dua, aku pengen tidur lagi abis kamu berangkat.” lanjutnya.
“Tiga, kalo kita di luar, aku nggak bisa gini…”
Renner mendudukkan dirinya di sofa, di samping Sabila. Ia lalu merebahkan dirinya sempurna dan menyender di bahu Sabila. Renner juga mengangkat tangan Sabila supaya melingkari badannya. Untungnya, Sabila tak protes.
“Idiiih…giliran gini manja. Giliran jadi kapten, kerjaannya bantah dokter.” sindir Sabila terkekeh sambil mengusap lembut surai suaminya.
“Ih aku kan udah minta maaf, Ca…kok dibahas lagi sih.” keluh Renner.
“Iyaa, bercanda Mas. Makasih ya, sarapannya.” ucap Sabila seraya mengambil sepotong croissant.
“Oh iya, jangan lupa kamu ke rumah Om Dedi ya, hari ini. Aku belom berhasil bujuk dia lho buat ke dokter jantung.” lanjut Sabila.
“Iyaa…nanti sebelum dinner sama kamu di RS, aku mampir rumah Om Dedi deh.” balas Renner.
“Janji ya…? Awas kalo nunda-nunda.” ucap Sabila, menatap suaminya.
“Iya, sayang, janji.” jawab Renner sambil mengecup tangan Sabila yang bertaut dengan tangannya.
⏳⏳⏳
Di jam yang sama, Iqbal diperbolehkan pulang ke rumah oleh RS Polri. Ia sengaja tidak mengabari adiknya sampai ketika ia sudah dalam perjalanan pulang diantar oleh Paul.
“Mas Iqbal, ya ampun!!” seru Nisa ketika melihat perban Iqbal di lengan kanannya.
“Ini nggak apa-apa kok, orang langsung disuruh pulang.” sahut Iqbal.
Paul kembali memberinya jitakan, “Iya sekarang nggak apa-apa! Besok-besok kenapa, Nisa nangis baru tau rasa lu!”
“Aduh Bang!! Gue lebih sakit dijitakin lo daripada ketembak nih lama-lama.” keluhnya sambil memegang kepala.
“Ya mampus, biarin. Makanya jangan nantang.” sahut Paul, “Nis, awasin nih abang lo. Nggak usah banyak gaya dulu.”
Nisa mengangguk, “Iya, makasih banyak ya Bang Paul udah jagain Mas Iqbal. Salam buat abang-abang lain sama Kak Syar juga ya.”
Paul mengangguk lalu pamit pulang.
Sepeninggalan Paul, Nisa yang gantian mengomel. Ia kesal tidak dikabari cepat perihal Iqbal yang tertembak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
ActionSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣