Tok
Tok
Tok
Mata Nana mengerjap mendengar ketukan pintu itu. Dia sedari tadi mencoba tidur dengan gelisah karena menahan rasa sakit di kepalanya. Tangan Nana meraba kasur di sampingnya untuk mengambil ponsel, matanya sedikit terbelalak saat melihat jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Siapa yang kurang kerjaan mengetuk pintunya di jam segini
Tok
Tok
Tok
"Sebentar" ujarnya dengan suara serak yang hampir tidak terdengar. Nana bangun dengan susah payah, dia sedikit merapihkan rambutnya sebelum mencoba berdiri. Sebelah tangannya memegang dinding untuk menjadi tumpuan saat berjalan
Saat ingin membuka kenop pintu, Nana meringis memegang kepalanya. Pandangannya mulai menggelap, dia menggelengkan kepalanya pelan berusaha tetap sadar.
klek
"HAPPY BIRTHDAY!!"
Mata Nana berkedip beberapa kali, di depan pintu terlihat Lea, Samuel, dan juga Rafael yang sedang memegang cake ulang tahun dan juga bouquet di sebelah tangan nya. Ah tunggu, bouquet itu....
Itu bouquet bunga mawar biru...
Nana menatap mereka satu persatu, dia benar benar lupa bahwa sekarang hari ulang tahunnya. Dia terkekeh kecil, matanya memanas menahan rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi, di campur dengan rasa haru saat menyadari dirinya diberikan surprise seperti ini
Melihat Nana yang diam saja, Rafael maju untuk mendekatkan diri dengan gadis itu. Dia menunduk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Nana
"Bunda... selamat ulang tahun..." Bisik Rafael halus di depan wajah Nana
Nana menatap Rafael dengan bibir yang tersungging senyuman tipis, " Makasih Fael, Lea, Samuel" matanya kembali manatap mereka satu persatu
"Tiup lilinnya dulu ayo" ujar Rafael lembut
Pandangan Nana mengarah kepada cake yang dibawa lelaki itu. Disana tertancap lilin dengan angka 19, bibirnya terangkat ke atas melihat angka itu. Nana memejamkan matanya sejenak sebelum meniup lilinnya
Fyuh
Mereka tersenyum melihat lilin itu sudah padam, Rafael memberikan cake kepada Lea yang ada di sampingnya. Pandangannya kembali menatap Nana dengan tangan yang sudah terangkat untuk memeluk gadis kesayangannya ini
"Selamat ulang tahun, cintanya Fael. Maaf untuk tiga hari kemarin" ucap Rafael disamping telinga Nana
Nana mencoba mengangkat tangannya untuk membalas pelukan itu. Berat, Nana benar benar sangat lemas untuk sekedar mengangkat tangan. Dia mendongak menatap Rafael, bibirnya tersenyum kecil "Terima kasih, Rafael"
Tangan besar Rafael menangkup sebelah pipinya, netra lelaki itu membola saat merasakan rasa panas dari pipi Nana, "Bunda... sakit?" tanyanya dengan nada yang terdengar sangat khawatir
Nana memejamkan matanya kembali saat rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Dia menggeleng pelan untuk meyakinkan lelaki itu, "Aku gak papa"
Punggung tangan Rafael menyentuh dahi Nana, matanya bergetar menatap gadis di hadapannya.
"Aku gak pa-"
Bruk
°°°°°
Rafael memukul dadanya untuk menghilangkan rasa sesak. Matanya kembali memanas saat mengingat ucapan dokter tadi
"Demam nya sudah sangat tinggi. Ditambah dengan Magh nya yang kambuh karna tidak makan seharian. Jika tidak cepat di tangani, ini akan berbahaya. Dan untuk kedepannya tolong di usahakan agar tidak terkena air hujan. Tubuhnya akan sangat lemah jika terkena air hujan, apalagi dalam keadaan perut yang kosong"
Nana-nya tidak makan seharian, Rafael mengingat kembali saat gadis itu berlari menerobos derasnya hujan untuk kembali ke kosan.
Rafael memang tahu segalanya tentang Nana, dia juga tahu perihal ini. Tapi Rafael tidak tahu dirinya akan sesakit ini jika melihat gadis kesayangannya jatuh sakit.
Andai saja waktu itu Rafael tidak mengacuhkan gadis itu, andai saja Rafael mengajak gadis itu untuk pulang bersamanya, dan andai saja Rafael tidak membuat prank konyol itu tiga hari kemarin
Andai, andai, dan andai. Rafael memukul kepalanya sendiri dengan tangan kanannya, sedangkan tangan sebelahnya digunakan untuk menggenggam lembut tangan Nana yang tidak tertancap infusan
Lelaki itu menoleh menatap Nana yang masih memejamkan matanya, dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangisnya karna melihat kondisi gadis itu. Wajahnya pucat sekali, kenapa dirinya bisa tidak menyadari itu tadi
Dia menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan. Menangis dalam diam merutuki sikapnya. Kenapa, kenapa dia selalu menjadi alasan gadis ini kesusahan. Harusnya sudah cukup dirinya menabrak Nana yang menyebabkan gadis itu di usir dari kost nya dulu. Kenapa sekarang dirinya kembali membuat gadis itu sakit
Rafael membayangkan saat Nana menahan rasa dingin dalam guyuran hujan, membayangkan gadis itu menahan rasa sakit di kepalanya, membayangkan Nana tidur dengan kondisi perut perih karena magh nya yang kambuh. Dirinya benar benar tidak bisa menahan air matanya. Rafael menyesal, sangat menyesal
Lea dan samuel menatap punggung Rafael yang bergetar. Mereka duduk bersampingan di sofa ruangan, mata Lea memanas saat menyadari dirinya kembali gagal menjaga gadis itu. Lea harusnya ingat jika Nana tidak boleh terkena air hujan. Harusnya dia melarang gadis itu pulang duluan. Dirinya benar benar di liputi rasa bersalah
Kepalanya menunduk saat merasakan air mata yang sudah memupuk di kelopak matanya, Samuel menarik Lea kedalam dekapannya. "Rona gak papa, dia kuat" ujarnya seraya mengelus rambut Lea
"Andai aja kita gak bikin prank konyol ini, El. Rona gak bakal sakit" tenggorokan Lea sakit karna manahan tangis
"Jangan di tahan nangisnya, nanti tenggorokannya sakit" tutur Samuel dengan sesekali mengecup pelipis gadis itu
Samuel terdiam merasakan punggung Lea yang bergetar, dirinya tidak mendengar isak tangis, hanya merasakan punggung gadis itu yang bergetar. Lea menangis dalam diam. Ini pertama kalinya Samuel melihat Lea menangis
Samuel mengelus lembut punggung gadis yang ada di pelukannya ini, dia menatap Rafael dan juga Nana. Dirinya menghela nafas panjang, tidak berbeda dengan Rafael dan juga Lea. Samuel pun merasa bersalah, sangat merasa bersalah. Andai..
Andai dirinya tidak memberikan ide itu.