Chapter 32

841 85 12
                                    

Suasana pagi di kediaman keluarga Gracio selalu dimulai dengan tenang. Matahari baru saja mulai menyinari halaman rumah, dan aroma segar dari embun pagi masih terasa. Di dapur, Bunda Shani sudah sibuk dengan kegiatan rutinnya, Yups dia sedang memasak sarapan untuk keluarganya. Tangannya cekatan menyiapkan bahan-bahan, sementara wajahnya terlihat tenang dan damai seperti biasanya.

Namun, pagi ini ada sesuatu yang berbeda. Zian, yang biasanya masih terlelap atau malas-malasan di kasur pada pagi hari, sudah bangun sejak subuh. Ia dengan penuh semangat ikut membantu Bundanya di dapur, sesuatu yang jarang sekali terjadi.

"Bunda, potong bawangnya segini cukup, kan?" tanya Zian sambil dengan hati-hati mengiris bawang merah. Shani yang sedang mengaduk sayur bayam di panci hanya menoleh sekilas, tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. "Kamu ini, Zian... Tiba-tiba rajin sekali pagi ini. Ada apa, Nak?"

Zian menyeringai kecil, melanjutkan memotong bawang dengan wajah serius. "Nggak ada apa-apa, Bund. Cuma bantu-bantu aja, kan memang seharusnya anak bantu orang tua, kan?"

Shani tahu betul kebiasaan Zian ini. Setiap kali anak tengahnya itu berbuat sesuatu yang menurutnya salah atau membuat khawatir, dia selalu mencoba bersikap manis dan rajin setelahnya, seakan berusaha menebus kesalahan. Shani pun tersenyum, menggeleng pelan lagi, tapi kali ini ada rasa sayang yang terpancar dari matanya.

"Kamu pasti lagi ada maunya atau merasa bersalah ya, Zian?" tanya Shani sambil melanjutkan memasak. Zian tertawa kecil, kemudian menurunkan pisau yang ia pegang dan menoleh ke arah Bundanya dengan ekspresi menggemaskan. "Ah, Bunda ini kok curiga terus sih? Zian beneran mau bantu. Lagipula, Zian kan anak baik."

Shani tertawa ringan mendengar jawaban Zian. "Anak baik, ya? Setelah apa yang terjadi kemarin? Anak baik mana yang habis berantem di sekolah?" Zian menggaruk belakang kepalanya dengan wajah malu. "Iya... kemarin itu... nggak bisa dihindari, Bunda. Mereka mulai duluan. Aku cuma membela diri Bund hehe."

Shani berhenti sejenak, memandang Zian dengan tatapan lembut namun tegas. "Zian, Bunda tahu kamu anak yang baik. Tapi berkelahi itu bukan solusi, apalagi di depan teman-temanmu. Apakah itu cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah?"

Zian terdiam. Dalam hatinya, ia tahu Bunda benar. Tapi ada juga rasa puas dalam dirinya setelah berhasil melindungi gengnya dan menunjukkan bahwa mereka tidak bisa diremehkan. "Aku tahu, Bunda. Tapi kadang... situasinya bikin kita nggak punya pilihan lain."

Shani hanya menghela napas panjang, kembali ke masakannya. "Kamu selalu punya pilihan, Zian. Hanya saja, kamu yang menentukan pilihan mana yang akan diambil."

Zian terdiam sebentar, lalu dengan canggung mencoba mengganti topik pembicaraan. "Jadi... hari ini masak apa, Bunda? Kelihatannya enak nih."

Shani tersenyum melihat usaha anaknya untuk menghindari topik serius. "Tumis bayam, ayam goreng kesukaan kamu, sama sambal terasi. Kamu mau bantu goreng ayam?"

Zian langsung berdiri tegak dan mengangguk semangat. "Siap, Bunda! Aku yang gorengin, ya."

Sambil memasukkan ayam ke dalam wajan, Zian melirik Bundanya yang sedang merapikan meja makan. "Bunda... ngomong-ngomong, soal kemarin, Bunda nggak marah kan? Aku cuma nggak mau mereka gangguin orang yang berharga buat zian."

Shani berhenti sejenak, memandang anaknya dengan tatapan penuh arti. "Bunda nggak marah, Zian. Bunda cuma khawatir. Kamu itu anak yang pintar, tapi kalau kamu terus mengandalkan kekerasan, Bunda takut kamu lupa bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan kepala dingin."

Zian mendesah pelan. "Iya, Bunda. Zian ngerti."

"Dan soal Ayah, kamu tahu kan kalau dia marah bukan karena kamu berkelahi saja. Tapi karena ayah kamu khawatir kamu akan terjebak di jalan yang salah," tambah Shani sambil melipat tangan di dadanya, menatap Zian serius.

Dark WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang