Pagi itu, suasana rumah keluarga Natlan Ryuji masih tenang. Shani sibuk di dapur menyiapkan sarapan, sementara Gracio duduk santai di ruang makan dengan koran di tangannya. Mereka berdua sudah tahu hari ini akan menjadi hari yang spesial, tapi mereka tetap berusaha santai seperti biasa.
Bel pintu tiba-tiba berbunyi, memecah kesunyian pagi. Shani meletakkan sendoknya dan buru-buru menuju pintu. Begitu pintu terbuka, wajahnya langsung cerah melihat siapa yang datang.
"Gitan! Muthe! Kalian datang juga!" Shani langsung memeluk kedua keponakannya dengan erat, senyum lebarnya tidak bisa disembunyikan.
Gitan, yang tampak lebih dewasa setelah menyelesaikan latihan dengan kakeknya di Jogja, tersenyum hangat. "Iya, Tante. Kami baru beresin rumah, jadi sekarang baru mampir ke sini."
Muthe, yang berdiri di samping Gitan, tersenyum malu-malu. "Iya, Bunda. Kita kangen banget sama Bunda sama Ayah Cio."
Shani mengangguk sambil merangkul Muthe masuk. "Ayo masuk, masuk! Gimana perjalanan kemarin? Capek banget ya?"
Gracio yang duduk di ruang makan, bangkit dari kursinya dan menyambut mereka dengan pelukan. "Gitan, Muthe, senang banget kalian akhirnya sampai. Gimana rumahnya? Udah beres semua?"
Gitan mengangguk. "Alhamdulillah lancar, Om. Rumahnya udah nyaman, tinggal nambahin sedikit dekorasi aja."
Mereka pun duduk di ruang makan, menikmati teh hangat yang disediakan Shani. Pembicaraan mengalir santai, mulai dari latihan Gitan di Jogja sampai rencana Muthe sekolah di Jakarta.
"Tante, kakek bilang udah waktunya aku mulai kehidupan baru di sini," kata Gitan. "Muthe juga nggak sabar mau sekolah di sini."
Shani tersenyum bangga. "Kalian bikin keputusan yang tepat. Kami senang banget kalian di sini. Kapan aja butuh bantuan, jangan sungkan ya, kita ini keluarga."
Gracio menambahkan, "Arzi pasti bakal kaget lihat Gitan sekarang yang makin dewasa. Dan Muthe, dia pasti senang kamu di sini."
Tiba-tiba, dari arah tangga terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa. Christy, yang baru bangun tidur dengan rambut acak-acakan, muncul di pintu ruang makan. Matanya langsung melebar saat melihat Muthe.
"Bang Gitan! Mumuchang!" Christy langsung berlari dan memeluk Muthe erat-erat. "Ya ampun, kangen banget!"
Muthe tertawa melihat sepupunya yang masih setengah tidur itu. "Christy! Kaget ya? Aku baru sampai kemarin."
Sementara itu, Ka Gita yang sedang duduk di ruang keluarga, tersenyum melihat keakraban mereka. "Dedek baru bangun udah heboh aja,kasihan tuh muthe kamu meluknya erat banget."
Christy melepaskan pelukannya dan melihat Gitan. "Bang Gitan, kamu makin keren aja. Kapan sampai?"
Gitan tersenyum. "Kemarin sore. Baru mampir ke sini sekarang."
Christy mengangguk penuh semangat. "Wah, asyik banget kalian sekarang tinggal dekat sini. Nanti kita bisa sering-sering ketemu."
Muthe mengangguk. "Iya, seru banget! Aku seneng bisa tinggal deket kamu christy"
Shani, yang melihat keakraban anak-anak itu, tersenyum bahagia. "Ayo, ayo, sarapan dulu. Udah disiapin makanan enak nih."
Mereka semua kemudian duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan sambil bercanda dan ngobrol. Suasana pagi itu penuh kehangatan, menandakan bahwa kedatangan Gitan dan Muthe membawa kebahagiaan tersendiri bagi keluarga besar Natlan Ryuji. Hari itu terasa lebih cerah, dengan kehadiran dua anggota keluarga yang akhirnya kembali bersama mereka di Jakarta.
---
Setelah sarapan yang hangat, suasana rumah kembali tenang. Gitan merasa ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara serius dengan Om Cio dan Tante Shani. Setelah memastikan Christy dan Muthe sibuk bermain di luar, Gitan mendekati Gracio dan Shani yang tengah duduk santai di ruang keluarga.
"Om, Tante, aku boleh ngobrol sebentar?" Gitan membuka percakapan dengan nada yang lebih serius.
Gracio meletakkan koran yang dibacanya dan menatap Gitan dengan penuh perhatian. "Tentu, Gitan. Ada apa? Duduk sini."
Gitan mengambil tempat di sebelah mereka, menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Sebenarnya, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepada tante sama om cio"
Shani menatap keponakannya dengan rasa ingin tahu. "Ceritakan, Gitan. Kami pasti mendengarkan."
Gitan mulai menceritakan bagaimana selama di Jogja, ia menjalani pelatihan yang sangat keras di bawah bimbingan kakeknya. Setiap hari, ia berlatih dari pagi hingga malam, mengasah kemampuan fisik dan mentalnya. Kakeknya tidak hanya mengajarkan teknik bertarung, tetapi juga disiplin, pengendalian emosi, dan cara berpikir yang tajam.
"Kakek juga berpesan kalau bisa Zian jangan terlalu lama di jepang, bukan maksud kakek ikut campur dia hanya ingin cucunya selalu deket sama orang tuanya, kata kakek 2 tahun itu udah cukup buat zian, kakek yakin tan kalau zian udah jadi lebih baik.," kata Gitan dengan nada serius. "Kakek juga pesan ke om cio, untuk hati-hati karena mereka sudah mulai bergerak."
Gracio mengangguk pelan, memahami apa yang disampaikan keponakannya. "Latihan itu memang berat, Gitan. Tapi aku bisa lihat, kamu sekarang lebih matang. Kakekmu tahu apa yang terbaik buat kamu dan untuk pesan dari kakek makasih ya om cio paham apa yang harus om lakukan."
"Tak kusangka papa juga tahu kondisi tentang mereka yang mencari keberadaan keluargaku, jaringan informasi papa mertua memang luar biasa" Batin cio mendengar pesan mertuanya melalui gitan.
Shani menambahkan, "Kami bangga sama kamu, Gitan. Kamu sudah melewati banyak hal dan tumbuh jadi pribadi yang kuat. Tapi ingat, kami juga ingin kamu menikmati masa mudamu, jangan terlalu terbebani dengan tanggung jawab."
Gitan tersenyum kecil. "Aku mengerti, Tante. Oh iya, aku mau minta tolong sama Om dan Tante untuk satu hal lagi."
Gracio dan Shani saling pandang sebelum menatap kembali ke arah Gitan. "Apa itu, Gitan?" tanya Gracio.
"Aku dan Muthe memutuskan untuk pindah sekolah ke Jakarta. Kami ingin melanjutkan pendidikan di sekolah milik om cio di SMA Natlan 47 dan SMP Natlan 47, biar lebih dekat sama kalian dan bisa jagain christy, muthe sama gita," jawab Gitan. "Ayah sebenarnya pengen bantu urus semuanya, tapi mereka lagi ada tugas di luar kota dan belum bisa mengurus kepindahan ini sendiri."
Shani mengangguk penuh pengertian. "Udah gapapa git biar kami yang urus, Kak Desta biar fokus kerja. Kami bisa urus semuanya buat kalian."
fyi : Kakak Shani Desta Gunawan Natio ayah dari Gitan dan Muthe. menikah dengan wanita asal jakarta bernama Shandra Arumi. Mereka saat ini ada tugas di IKN.
Gracio mengangguk setuju. "Kamu dan Muthe nggak usah khawatir soal administrasi. Om Cio akan urus semuanya biar kalian bisa mulai sekolah dengan tenang."
Gitan merasa lega mendengar itu. "Terima kasih, Om, Tante. Muthe juga pasti senang bisa sekolah bareng Christy.
Shani tersenyum lembut. "Muthe dan Christy seumuran, jadi pasti mereka akan cocok. Dan kamu, Gitan, bisa lebih dekat dengan Ka Gita. Rasanya seru juga kalian bisa satu sekolah."
Gitan tersenyum, merasa beban di pundaknya berkurang. "Iya, Tante. Aku juga senang bisa dekat sama Ka Gita. Rasanya nggak sabar buat mulai kehidupan baru di sini."
Shani meraih tangan Gitan dan menggenggamnya dengan lembut. "Kamu keluarga kami, Gitan. Apa pun yang kamu butuhkan, kami akan selalu ada buat kamu dan Muthe."
Percakapan mereka berlanjut dengan lebih santai, membahas rencana-rencana ke depan dan bagaimana Gitan akan menyesuaikan diri dengan kehidupan di Jakarta. Gracio dan Shani merasa bangga melihat perkembangan Gitan, sementara Gitan merasa lebih percaya diri menghadapi masa depannya di Jakarta dengan dukungan penuh dari keluarga.
Setelah malam tiba, Gitan dan Muthe memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Mereka tidak menginap dikarenakan besok ingin langsung bersekolah.
JANGAN LUPA VOTE GUYS!!!
MAAF YA GUYS KALAU KURANG NYAMBUNG, NIKMATIN AJA YA HEHEHE
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Wolf
ActionDark Wolf, geng yang dibangun sejak kecil oleh Arzian bersama sahabat-sahabatnya Aldo, Ollan, Daniel, Floran, dan Gitan-resmi berdiri saat SMP. Namun, setelah Arzian pergi dikirim ke Jepang karena sebuah insiden, geng ini menghadapi ancaman besar d...