Chapter 22

745 87 12
                                    

~Lapangan olahraga SMA Natlan 47

Zian, Aldo, dan Ollan berkumpul bersama teman-teman sekelas mereka, menunggu instruksi dari guru olahraga mereka, Pak Bandi. Aldo dan Ollan, meski sudah lama pura-pura tidak terlalu mahir bermain basket, tampak tenang. Namun, berbeda dengan Zian yang baru saja kembali ke Indonesia dan harus berpura-pura "culun" untuk menjaga penyamarannya.

Pak Bandi berdiri di depan mengumumkan bahwa pelajaran hari ini adalah basket. Sontak kelas bersorak kecil, sebagian antusias, sebagian lainnya tampak mengeluh karena tidak terlalu mahir.

“Baiklah, anak-anak, yang sudah bisa bermain basket, hari ini kalian bertugas untuk mengajari teman-teman yang belum bisa. Ingat, kerja sama tim penting!” Pak Bandi berkata dengan suara tegas. Matanya menatap ke arah Zian, yang berdiri kaku di samping Aldo dan Ollan. “Zian, kamu pasti belum terlalu paham main basket ya?”

Zian hanya tersenyum canggung, menundukkan kepala sedikit, sambil dalam hati berusaha menahan diri untuk tidak terlalu menonjolkan kemampuannya yang sebenarnya. "Iya, Pak. Saya masih belum terlalu bisa."

Pak Bandi mengangguk. "Baik. Chika, karena kamu wakil kapten tim basket putri, tolong bantu Zian, ya. Ajari dia teknik dasar bermain basket."

Seketika itu juga, wajah Chika berubah. Ia mendengus kesal, tak menyangka harus mengajari seseorang yang tampak "cupu" seperti Zian. “Pak, masa saya yang harus ngajar si culun ini?” celetuknya dengan nada ogah-ogahan, tapi tetap mematuhi instruksi guru.

Sementara itu, di sudut lapangan, Aldo dan Ollan menahan tawa. Bagaimana tidak kapten tim basket semasa smp yang udah juara nasional, memiliki fisik yang sangat tangguh. Namun, untuk hari ini, dia harus berpura-pura. Zian melirik sekilas ke arah Aldo dan Ollan, yang hampir tergelak melihat temannya harus berurusan dengan Chika.

Chika berjalan menghampiri Zian dengan bola basket di tangannya. Wajahnya penuh rasa malas, seperti benar-benar tidak mau repot dengan tugas ini. "Woy, Cupu. Pertama, pegang bola dengan benar. Jempolmu harus sejajar seperti ini," katanya dengan nada instruksi yang setengah hati.

Zian menerima bola itu, pura-pura salah posisi saat memegangnya. “Begini ya, Chik?” katanya sambil berakting canggung.

Chika menghela napas panjang. “Ya ampun, lo gimana sih gini aja nggak ngerti? Lihat nih, gini caranya,” ucap Chika sambil memperagakan lagi cara memegang bola yang benar. Dengan wajah kesal, dia mengajari Zian sambil bergumam dalam hati, "Kenapa sih gue harus repot-repot ngajarin si culun ini?"

Teman-teman Zian yang lain Aldo, Ollan, dan beberapa yang menyadari situasi itu semakin sulit menahan tawa. Mereka tahu betul bahwa Zian sedang bersandiwara. Sementara itu, Chika semakin kesal setiap kali Zian pura-pura salah dalam mengikuti instruksinya. Bahkan, ada momen di mana Zian sengaja meleset saat mencoba melempar bola ke keranjang, membuat Chika semakin frustrasi.

“Duh, Zian, lo beneran payah banget,” keluh Chika sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Udah deh, dengerin baik-baik! Kalau sampai salah lagi, gue nyerah."

Zian hanya tersenyum tipis di balik ekspresi "culun" yang dipaksakannya, sementara dari kejauhan, teman-temannya terus mengamati sambil menahan tawa.

Di ujung lapangan, Arshel dan Indah yang melihat interaksi itu tak bisa menahan tawa kecil. Mereka sadar bahwa Zian sebenarnya sedang bermain-main dengan Chika, berpura-pura tidak bisa, padahal mereka tahu kemampuan Zian dalam hal fisik pasti jauh di atas rata-rata.

Namun, di luar dari itu semua, Zian tetap berusaha menahan diri dan mengikuti permainan. Dalam hatinya, dia hanya berharap pelajaran olahraga ini cepat selesai sebelum penyamarannya terbongkar lebih jauh oleh Chika yang semakin kesal dengan "ketidakmampuannya".

Dark WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang