Chapter 25

871 92 15
                                    

Setelah melewati hari yang panjang, Zian melangkah pelan-pelan menuju kamar ayahnya, berharap bisa bicara tanpa gangguan. Tapi sebelum itu, Zian harus memastikan satu hal di mana Bundanya berada.

Zian berjalan perlahan di sepanjang lorong, mencoba menghindari derit lantai yang mungkin bisa membangunkan siapa pun. Sampai akhirnya, langkahnya terhenti di depan pintu kamar Bundanya. Perlahan, dia membuka pintu sedikit, mengintip ke dalam kamar. Bundanya tidak ada di sana.

"Kemana Bunda?" gumam Zian pelan, sambil melirik ke arah kamar Christy, adik perempuannya. Pintu kamar Christy sedikit terbuka, dan di dalam, Zian melihat Bundanya, Shani, sedang tiduran di sebelah Christy yang sudah terlelap. Raut wajah Bundanya tampak tenang dan lembut, mencerminkan kasih sayang yang hangat kepada putrinya.

Zian tersenyum kecil, lega melihat Bundanya sedang beristirahat. "Zian izin pergi ke markas ya Bund" bisiknya pelan, kemudian menutup pintu dengan hati-hati. Tanpa ingin mengganggu, ia segera beranjak menuju ruangan kerja ayahnya. Sesampainya di depan pintu ruangan kerja ayahnya, Zian mengetuk perlahan.

"Yah, Zian bisa masuk?" Ucap Zian suaranya pelan, tapi cukup tegas.

Dari dalam, terdengar suara berat yang sudah familiar di telinganya, suara ayahnya, Gracio Harlan Ryuji. "Masuk, Zoy."

Zian masuk perlahan, dan melihat ayahnya sedang duduk di meja kerja, membaca beberapa dokumen penting. Cahaya lampu meja yang redup menyinari wajah tegas dan berwibawa milik Gracio, sosok yang selalu dijadikan panutan oleh Zian.

"Ada apa, Zoy? Tumbenkamu ke ruangan Ayah," tanya ayahnya sambil meletakkan dokumen di atas meja.

Zian menghela napas pelan sebelum menjawab. Dia tidak mau mengatakan niat sebenarnya, bahwa dia hendak menyerang markas Black Ants malam ini. Zian takut kalau ayahnya bakal melarang jika dia tahu niat asli Zian.

"Yah, aku mau pergi keluar sebentar. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan," kata Zian dengan nada yang terkesan santai, meskipun pikirannya penuh dengan rencana.

Gracio mengangkat alis. "Urusan apa, Zian? Penting banget sampai harus keluar malam-malam begini?"

"Nggak lama, kok. Cuma perlu ketemu beberapa orang," jawab Zian sambil berusaha tetap tenang. "Bolehkan yah."

Gracio mengamati putranya dengan tatapan tajam, mencoba membaca niat di balik kata-kata Zian. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Zian berbicara malam ini, tapi Gracio memilih untuk tidak langsung menginterogasi lebih jauh.

"Baiklah, kalau memang penting. Tapi hati-hati ya. Ayah nggak pengen kamu kenapa-kenapa."

"Tenang aja, Yah. Zian bisa kok jaga diri" jawab Zian sambil mengangguk pelan.

Setelah mendapat izin, Zian merasa lebih lega. Dia berbalik, siap untuk pergi. Namun, sebelum benar-benar keluar dari ruangan, ayahnya memanggilnya lagi.

"Zian, apapun yang kamu lakuin di luar sana, inget satu hal, keluarga adalah yang paling penting. Jangan pernah lakukan sesuatu yang bisa ngerugiin mereka."

Kata-kata itu seperti pesan penuh makna yang menempel di benak Zian. Dia tahu, ayahnya mencintai keluarganya lebih dari apapun, dan pesan itu selalu terngiang dalam setiap tindakannya.

"Iya, zian selalu inget itu, Yah. Thanks."

Saat Zian sudah pergi, Gracio tetap berdiri di ruangannya, termenung. Pikirannya terus mengembara, mencoba memahami apa yang sebenarnya direncanakan anaknya. Sebagai mantan pemimpin yakuza, Gracio sangat mengenal tanda-tanda seseorang yang sedang merencanakan sesuatu yang besar, dan malam ini, Zian terlihat membawa aura yang sama.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gracio mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Halo, Saya butuh bantuan kamu malam ini," suaranya tenang tapi terasa dingin, tanda bahwa ini bukan panggilan biasa.

Dark WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang