Chapter 39

930 115 13
                                    

Hari ini adalah hari pertama Zian kembali ke sekolah setelah menjalani hukuman skorsing selama tiga hari. Ia memilih untuk berangkat sendiri, menolak diantar dengan mobil keluarga. Keputusan itu diambil agar identitasnya sebagai anak kedua dari keluarga Natlan tidak terbongkar. Di sekolah, tidak banyak yang tahu siapa dia sebenarnya, dan Zian ingin menjaga hal itu tetap rahasia. 

Zian memasuki halaman sekolah dengan sedikit tergesa-gesa, terengah-engah karena harus lari dari parkiran. Ban motornya bocor di jalan tadi, menyebabkan keterlambatannya. Saat tiba di gerbang, pintu gerbang sudah tertutup rapat.

Di depan gerbang, dua orang gadis tengah berjaga adalah Eli dan Chika. Chika, yang memang dikenal dengan sikapnya yang ketus dan galak, langsung melayangkan pandangannya kepada Zian. "Kenapa lo telat?" tanyanya dengan nada ketus. "Baru habis diskors, hari pertama masuk udah telat aja."

Zian, dengan napas yang masih terengah-engah, hanya menjawab singkat dengan nada datar, "Ban bocor."

Respons Zian yang singkat dan dingin membuat Chika semakin kesal. Ia merasa Zian tidak menghargai pertanyaannya, seolah tidak ada usaha untuk memberikan penjelasan lebih panjang. Namun, Eli, dengan lebih tenang, berusaha menggali lebih dalam. "Kenapa nggak kasih tahu lebih dulu? Pasti bisa cari cara biar nggak telat," Eli bertanya dengan nada lebih lembut, berharap Zian bisa sedikit lebih terbuka.

Zian akhirnya menjelaskan kepada Eli, "Aku telat karena ban motorku bocor di jalan Kak, nggak ada bengkel yang buka dekat situ. Jadi terpaksa harus dorong dulu, nyari bengkel Kak." Jawabannya singkat, tetapi cukup untuk membuat Eli mengerti situasinya.

Namun, Chika tidak puas dengan penjelasan itu. Dia sudah kesal sejak awal karena Zian bersikap dingin dan tampak acuh tak acuh terhadapnya. Chika langsung menyarankan kepada Eli dengan suara ketus, "Ka Eli, hukum aja dia. Lari keliling lapangan sepuluh kali. Kemarin dia baru habis diskors, terus sekarang telat. Ini juga termasuk pelanggaran."

Eli awalnya ragu. "Tapi Chik, lari sepuluh kali keliling lapangan kayaknya terlalu berat. Lagian dia kan udah kasih alasan kenapa telat."

Chika, dengan wajah serius, membalas dengan tegas, "Justru karena itu. Habis diskors harusnya dia lebih disiplin. Ini baru hari pertama masuk udah telat lagi. Kalau nggak dihukum sekarang, nanti dia makin seenaknya."

Zian hanya berdiri diam, mendengarkan argumen Chika yang begitu ngotot. Matanya sesekali melirik Chika, namun ia tidak ingin terlibat dalam perdebatan ini. Dia tahu, apapun yang dia katakan tidak akan mengubah pikiran Chika yang sudah kesal sejak awal.

Eli menghela napas panjang, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Oke deh. Zi Lari sepuluh putaran di lapangan, Setelah itu kamu bisa masuk ke kelas!"

Zian tidak protes, meskipun lari sepuluh putaran di lapangan terasa berat. Baginya, ini lebih baik daripada harus berdebat panjang. Tanpa berkata apapun, Zian mulai berlari menuju lapangan, meninggalkan Eli dan Chika di gerbang.

Sementara itu, Chika memperhatikan Zian yang mulai berlari di kejauhan. Meskipun tadi dia yang mengusulkan hukuman, ada sedikit rasa bersalah yang muncul di hatinya. Namun, egonya terlalu besar untuk mengakuinya.

"Yah, mungkin dia perlu belajar disiplin," gumam Chika, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah keputusan yang benar. Chika masih berdiri di gerbang sekolah dengan wajah kesal, menggerutu tentang Zian kepada Gita, Fiony, dan Dea yang baru saja keluar setelah merapikan ruangan OSIS. " Kak Gita, pacar kamu itu ya... benar-benar bikin kesel deh! Baru habis diskors, eh sekarang telat! Terus jawabnya dingin banget!" kata Chika dengan nada tidak puas.

Gita, hanya tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hatinya, Gita bergumam, "Hahaha, kalau kamu tahu siapa Zian sebenarnya, Chi, kamu pasti nggak akan rela dia jadi pacar orang lain." Namun, Gita tidak berkata apa-apa dan membiarkan Chika terus mengoceh.

Dark WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang