Chapter 38

774 97 7
                                    

Pagi hari di keluarga Natlan Ryuji dimulai dengan kesibukan biasa. Di meja makan, aroma sarapan yang lezat memenuhi udara, membuat suasana pagi semakin hangat. Gita dan Christy sudah rapi dengan seragam sekolah mereka, siap berangkat. Di sisi lain, Zian duduk santai, mengenakan pakaian kasual karena hari itu dia masih dalam masa skors dari sekolah.

Meski situasinya sedikit berbeda untuk Zian, Gracio, sang ayah, tidak mempermasalahkan itu. Baginya, meskipun tindakan Zian keras, dia melakukannya untuk melindungi keluarganya—dan itu sudah cukup. "Ayah ngga mempermasalahkan karena kamu membela Kakak. Jangan terlalu khawatir soal skors itu," ucap Gracio sebelumnya dengan tegas namun penuh pengertian.

Setelah sarapan selesai, satu per satu mulai berpamitan. Christy yang pertama kali berpamitan kepada Bundanya, mencium tangan dan pipi Shani dengan manja. "Bunda, Christy berangkat dulu ya!" serunya dengan senyum ceria.

Gita menyusul adiknya, meski lebih tenang dan kalem, dia juga mencium Bundanya. "Aku juga berangkat, Bun," katanya, penuh kasih sayang.

Terakhir, Gracio bangkit dari tempat duduknya, bersiap untuk berangkat kerja sekaligus mengantar Gita dan Christy ke sekolah. Sebelum keluar, dia mendekati Shani dan mencium kening istrinya dengan lembut. "Aku berangkat dulu, Sayang."

Shani mengangguk dengan senyum hangat di wajahnya. "Hati-hati di jalan, ya."

Zian yang melihat pemandangan hangat itu merasa sedikit iri. Meskipun kakak dan adiknya sudah terbiasa menunjukkan kasih sayang dengan mencium Bundanya, dia merasa ingin mendapat bagian juga. Bagaimanapun, meski dikenal tangguh di luar, Zian memiliki sisi manja yang hanya keluar di depan keluarganya.

"Eh, tunggu dulu! Kak, Toy! Masa yang dicium Bunda doang!" serunya, sambil pura-pura merajuk, membuat semua orang di meja tertawa.

Christy dan Gita saling bertukar pandang dengan mata penuh kelakar, pura-pura menolak. "Ah, males ah zoy! Udah gede tapi minta dicium," goda Christy.

"Iya, kayak anak kecil aja," tambah Gita sambil tertawa.

Zian cemberut, tapi sebelum dia bisa protes lebih jauh, kedua kakak-adik itu langsung mencium pipinya dengan cepat. "Nih, puas?!" seru mereka serempak, disusul tawa.

Zian tersenyum lebar. "Nah, gitu dong!" jawabnya dengan penuh kepuasan.

Gracio dan Shani yang menyaksikan itu dari kejauhan hanya tertawa kecil. Mereka tahu, meskipun Zian terlihat keras di luar, dia masihlah anak yang manja di depan keluarga. Gracio kemudian melambaikan tangan, mengajak Gita dan Christy untuk naik ke mobil. "Yuk, kita jalan. Jangan sampai terlambat."

Sambil tertawa kecil, Shani melihat mereka pergi, merasa bahagia dengan kehangatan yang selalu ada di rumah mereka, meskipun diselingi sedikit kelucuan seperti pagi itu. Setelah mereka berangkat, rumah terasa lebih sepi, hanya tinggal Zian dan Shani di sana.

Setelah seharian merasa bosan di kamar, Zian memutuskan untuk bersantai di ruang tengah sambil menonton TV. Baru saja ia merasa nyaman, tiba-tiba terdengar suara Bundanya, Shani, memanggil dari dapur.

"Zian! Tolong antar Bunda ke mall, ya. Bunda mau beli tas baru dan peralatan memasak," suara lembut Shani terdengar jelas, diikuti langkah kaki ringan menuju ruang tengah.

Zian yang sedang setengah rebahan langsung bangkit dengan semangat. Mengantar Bundanya ke mall? Itu tugas yang lebih menyenangkan daripada hanya duduk di rumah tanpa tujuan. "Siap, Bunda!" jawab Zian dengan nada riang, sambil langsung meraih jaketnya.

Perjalanan ke mall berlangsung santai. Di dalam mobil, mereka bercakap-cakap ringan tentang berbagai hal, dari makanan favorit hingga acara-acara TV terbaru. Sesampainya di mall, Shani langsung berburu tas yang sudah lama diincarnya. Zian, meski tak terlalu tertarik dengan belanjaan ibunya, tetap sabar menemani. Setelah itu, mereka pindah ke bagian peralatan memasak, tempat Shani memilih beberapa barang baru yang menurutnya akan membuat aktivitas memasaknya semakin menyenangkan.

Dark WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang